Lihat ke Halaman Asli

Koinfeksi HIV-HCV dan Risiko yang Ditimbulkan

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Virus hepatitis C (HCV) merupakan salah satu penyebab penyakit hepatitis kronis, sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Diperkirakan 2-3% penduduk dunia telah terinfeksi HCV. Sekitar 85% pasien yang terinfeksi HCV berkembang menjadi infeksi kronis dan 20-30% diantaranya mengalami progresifitas menjadi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. HCV sendiri sering menyertai infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) terkait persamaan rute transmisi kedua virus tersebut (Gao et al., 2012; Sharma, 2010). Sekitar 15-20% pasien HIV mengalami koinfeksi dengan HCV. Koinfeksi tersebut memicu kerusakan hepatosit dan mempengaruhi toksisitas obat ARV (antiretroviral) yang dapat meningkatkan mortalitas pasien HIV (Andreoni et al., 2012; Taylor et al., 2012).

Hingga tahun 2012, diperkirakan 15-20% pasien HIV mengalami koinfeksi dengan HCV. Penggunaan narkoba suntik dan hubungan seksual menjadi faktor utama penyebab koinfeksi HCV-HIV (Andreoni et al., 2012). Prevalensi koinfeksi HCV-HIV di setiap negara bervariasi. Di Amerika dan Eropa, prevalensi koinfeksi HCV-HIV berkisar 72-95% untuk pengguna narkotika suntik, 1-12% untuk homoseksual dan 9-27% untuk heteroseksual (Operskalski dan Kovacs, 2011). Di Indonesia, informasi koinfeksi HCV-HIV masih minim. Terdapat satu publikasiterkait koinfeksi HCV-HIV dari 126 pasien HIV di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Sardjito Yogyakarta yakni sebesar 34,1% (Anggorowati et al., 2012).

Koinfeksi HCV pasien HIV dapat mempersulit proses pengobatan HCV. Sekitar 30% pasien koinfeksi HCV-HIV menghentikan pengobatan ARV terkait risiko hepatotoksisitas. Risiko tersebut terjadi terkait aktivasi imun kronis akibat infeksi HIV melalui pengikatan protein gp120 HIV dengan sel stelat hepatosit (HSCs). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi dan pro-fibrogenik. Kedua sitokin tersebut berperan sebagai molekul signaling infeksi HCV. Interleukin 8 (IL-8) merupakan sitokin pro-inflamasi yang terlibat di dalam inflamasi hepatosit dan penurunan sensifitas interferon (IFN), sedangkan transforming growth factor beta-1 (TGF-β1) merupakan sitokin pro-fibrogenik yang terlibat di dalam proses fibrosis. Sitokin TGF-β1 merupakan faktor parakrin pengaktivasi HSCs yang selanjutnya disintesis protein extracellular matrix (ECM). Akumulasi protein ECM di hepatosit menyebabkan gangguan struktur hepatosit sehingga memicu terbentuknya jaringan ikat disertai regenerasi hepatosit (Joshi et al., 2011). Akumulasi protein ECM terjadi karena adanya penurunan aktivitas anti-fibrogenik protease matrix of metalloproteinase-fibrolytic (MMP), yang merupakan akibat dari produksi inhibitor tissue inhibitor of metalloproteinase-1 (TIMP-1) yang berlebih, sehingga menyebabkan MMP sebagai pendegradasi protein ECM menjadi terganggu. Ketidakseimbangan antara produksi MMP dan protein ECM tersebut juga dapat terjadi melalui oksidasi reactive oxygen species (ROS), sehingga oksidan yang dihasilkan dapat meningkatkan sintesis kolagen oleh HSCs. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan struktur sel hepatosit dan menginduksi terjadinya apoptosis dan fibrosis hepatosit (Fallowfield et al., 2011; Operskalski dan Kovacs, 2011; Lin et al., 2011; Wang et al., 2011 ). Selain efek hepatotoksisitas yang ditimbulkan terkait terapi ARV, kombinasi IFN/RBV dapat juga menimbulkan efek lainnya antara lain persistensi HCV (kronis), gejala demam, penurunan daya ingat, waktu terapi lama dan biaya yang relatif mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline