Di Indonesia sistem pemerintahan masih banyak terjadi penyelewengan baik itu dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh para pejabat yang memiliki kuasa baik itu rendah maupun tinggi. Para pejabat pemegang kekuasaan seringkali menyalahgunakan apa yang mereka miliki untuk memuaskan hasrat mereka dimana hal itu merugikan negara khususnya para rakyat. Salah satu penyelewengan yang masih tumbuh menjamur sampai saat ini yaitu tindakan korupsi.
Korupsi adalah suatu tindakan dimana seseorang atau kelompok menyalahgunakan uang negara secara sembunyi-sembunyi demi kepentingan pribadi atau kelompoknya yang bukan menjadi kepentingan negara. Korupsi akan membuat negara ini terganggi dalam segala bidang contohnya saja bidang ekonomi, apabila sudah terganggu maka kehidupan negara juga terancam bahaya.
Tindakan korupsi terjadi karena banyak faktor, salah satunya yaitu rendahnya kesadaran dan keimanan para pemegang kekuasaan. Para pemegang kekuasaan di negara ini memanglah masih banyak yang melakukan tindakan korupsi meskipun sudah didirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu contohnya baru-baru ini seorang Hakim Agung menjadi tersangka dugaan kasus suap berserta dengan beberapa peagawai Mahkamah Agung (MA). Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan beberapa pegawai Mahkamah Agung (MA) ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara.
Kasus Hakim Agung Sudrajad Dimyati diduga melakukan kasus suap dengan modus perampasan aset koperasi melalui pemailitan, Sudrajad yang diduga menerima suap dari pihak swasta atau pihak yang diduga menyuap adalah Yosep Parera dan Eko Suparno selaku kuasa hukum, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto merupakan debitur Koperasi Simpan Pinjam (KTP) Intidana. Menurut pemeriksaan para tersangka pasca kasus OTT, Sudrajad diduga menerima suap untuk membuat putusan kasasi yang menyatakan koperasi simpan pinjam Intidana pailit. Yosep dan Eko disebut-sebut menyumbang S$202.000 atau sekitar Rp2,2 miliar.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, bahwa Presiden Joko Widodo kecewa upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintah justru gembos di lembaga yudikatif dan meminta untuk segera melakukan reformasi di sektor hukum peradilan.
Mahfud MD dalam akun media sosialnya menyampaikan bahwa presiden kecewa karena upaya pemberantasan korupsi yang sudah cukup berhasil di lingkungan lembaga eksekutif tapi upaya tersebut gagal di lembaga yudikatif. Beliau juga mengatakan akan segera berkoordinasi untuk merumuskan formula reformasi lembaga yudikatif.
Menurut Mahfud MD kinerja Kejaksaan Agung sudah menunjukkan hasil yang positif begitu juga dengan KPK dalam upaya pemberantasan tindak korupsi di Indonesia tetapi usaha-usaha yang bagus tersebut sering kali "gembos" di Mahkamah Agung (MA). Misalnya, ada koruptor yang dibebaskan, ada koruptor yang dipotong masa hukumannya dengan potongan yang besar. Mahfud MD menyebutkan bahwa dirinya dan jajarannya tidak dapat masuk ke Mahkamah Agung (MA) karena beda lembaga, mereka yudikatif sedangkan dirinya di lembaga eksekutif. Mahkamah Agung (MA) selalu berdalil bahwa hakim itu merdeka dan tak bisa dicampuri urusannya.
Seperti yang dijelaskan, korupsi adalah salah satu penipuan paling umum di Indonesia. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar peraturan negara, tetapi juga melanggar ideologi dan prinsip Pancasila. Dengan menyimpang dari tindakan terhadap Pancasila, ia akan menyebabkan cita-cita yang didambakan oleh bangsa dan negara lama kelamaan akan hancur. Di dalam Pancasila terdapat lima sila yang masing-masing memiliki makna yang berbeda namun memiliki satu tujuan, yaitu untuk mewujudkan cita-cita negara Indonesia.
Pada sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa." Jika kita rusak, kita telah berbohong kepada Tuhan. Sila kedua berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab", ketika melakukan tindak korupsi, berarti telah melanggar sila kedua ini karena telah melakukan tindakan yang memandang kekuasaan dan status sebagai tempat untuk mendapatkan apa yang diinginkan demi kebahagiaan diri sendiri dan juga merugikan orang lain.
Sila ketiga "Persatuan Indonesia", korupsi merupakan praktik yang dapat merusak kepercayaan masyarakat sehingga masyarakat merasa terancam dan tidak tertarik dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Seiring waktu, ini akan menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan.