Bagi kawula muda cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Namun pernah nggak sih membayangkan cinta terhalang karena urusan sosial-politik suatu negara?
Jika pernah menonton film Surat dari Praha (2016) karya Angga Dwimas Sasongko berlatar tahun 1960-an, mengisahkan tentang Jaya (Tio Pakusadewo) seorang Pelajar Indonesia yang sedang studi di Praha harus terasing dari tanah airnya sendiri karena pergantian pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan politik Indonesia yang sedang berkecamuk membuat Jaya dan beberapa teman seangkatannya tidak bisa kembali ke Indonesia karena menolak rezim militer Soeharto saat itu. Sehingga ia menjadi seorang stateless atau tidak mempunyai kewarganegaraan bertahun-tahun. Usut punya usut, Jaya sebelumnya memiliki seorang pacar yang akan ia nikahi selepas menyelesaikan studi di Praha, perempuan itu bernama Sulastri (Widyawati Sophiaan). Sebuah kisah tentang cinta, amarah, dan keikhlasan sepasang kekasih yang terhalang oleh pengaruh politik negara.
Jauh sebelum transisi politik yang memengaruhi keadaan seseorang tak terkecuali persoalan asmara, ternyata seorang tokoh pejuang kemerdekaan juga pernah merasakan cinta yang terhalang karena urusan sosial dan politik negara, ia bernama Sutan Sjahrir yang diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke wilayah pedalaman Boven Digul, Papua.
Sutan Sjahrir lahir pada 15 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat, sebuah kawasan yang diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Singgalang dan Marapi. Sutan Sjahrir kerap dijuluki 'Bung Kecil' karena ukuran tubuhnya yang mungil dengan tinggi 145 sentimeter. Ia lahir dari keluarga bangsawan hasil pernikahan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan dan Siti Rabiah pada tahun 1898. Sudah barang tentu dengan kondisi keluarga terpandang saat itu, Bung Kecil mendapatkan privelese pendidikan dengan mengenyam pendidikan b studi bahasa belanda atau ELS dan melanjutkannya di Meer Uitgebreid Laager Onderwijs setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kebudayaan Minangkabau yang mengharuskan anak laki-laki merantau harus dilakukan oleh Sjahrir. Setelah menamatkan studi di MULO, ia memilih "Kota Kembang" dengan bersekolah di Aglemene Middlebare School (AMS) setara Sekolah Menengah Atas (Mrazek,1996).
Privilese yang dimiliki olehnya digunakan dengan baik tatkala ia menjadi pemuda pintar dan aktif. Pada musim semi 1929, Sjahrir melanjutkan studinya ke negeri Belanda memasuki Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Sjahrir kerap kali menjadi motor penggerak organisasi baik itu ketika di AMS hingga Belanda. Relasi Sjahrir semakin meluas ketika memasuki organisasi di Belanda. Ia berkenalan dengan Salomon Tas atau disapa Sal Tas pemipin dari organisasi Sociaal Democratische Studenten Club atau klub belajar Sosial-Demokrat. Kedekatan yang dimiliki oleh keduanya membuat Sjahrir tinggal di rumah kecil Sal Tas. Rumah kecil ini dihuni oleh Maria (istri Sal Tas), kedua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith (MRazek, 1996).
Sjahrir merupakan sosok yang mudah bergaul dengan orang lain, dan terkenal dengan kecintaannya terhadap dunia barat dalam hal gaya hidup. Bersama Sal Tas, Maria, dan Judith, Sjahrir beberapa kali menonton teater, konser musik layaknya anak muda pada saat itu. Entah takdir atau kebetulan, hubungan Maria dengan Sal Tas mulai merenggang karena intrik di dalam kisah cinta mereka. Sjahrir dan Maria mulai mempunyai rasa satu sama lain, dan mereka berdua mulai menjalin cinta kasih walau saat itu masih menjadi istri Sal Tas.
Sjahrir sangat mencintai Maria dengan segenap perasaannya, begitupun sebaliknya. Namun, kecintaan Sjahrir akan negara dan bangsanya membuat keputusan yang sangat berani. Kritisisme Sjahrir dalam berorganisasi akhirnya mempertemukannya dengan Hatta (seorang pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia) dan mendirikan Perhimpunan Indonesia, yang mana Sjahrir menjadi sekertaris di PI. Perbedaan idealisme politik di antara anggota membuat Sjahrir dan Hatta disisihkan di PI (Anwar, 2011). Pada November 1931, Sjahrir bersama Hatta bersiap untuk pulang ke Hindia Belanda. Sesampai di "tempat berbahaya" (penyebutan kondisi Indonesia saat itu), Sjahrir menjadi ketua PNI-Pendidikan atau PNI-Baru pada kongres PNI yang dilaksanakan pada 23--26 Juni 1932.
Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge atau De Jonge (1931--1936) memimpin Hindia Belanda secara otoritarian. Ia tak segan-segan untuk membungkam kaum pribumi yang mengganggu stabilitas keamanan dan politik Hindia Belanda. Pada 1930-an, banyak orang pribumi diasingkan karena dianggap sebagai provokator atau pengganggu pemerintah kolonial. Sjahrir dan Hatta saat itu vokal dan berpengaruh tak luput dari penjara dan pengasingan. Dari penjara ke kamp pengasingan, membuat kegusaran hatinya meningkat. Puncaknya ketika ia diasingkan ke Boven Digul. Di sana, Sjahrir mengalami keterasingan batin dan jiwa, serta membuat hubungan ia dengan Maria semakin memburuk.
Berdamai dengan Boven Digul