Lihat ke Halaman Asli

PMA—Not A Free Lunch Investment

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tahun 2012 lalu, Indonesia boleh kembali patut berbangga dan bersyukur atas rahmat yang telah Allah berikan kepada bangsa ini. Perekonomian Indonesia kembali tumbuh hingga mampu mencapai angka 6,2%, jauh diatas rata-rata pertumbuhan selama satu dekade ini yaitu 5,5%, walaupun tren pertumbuhan ini dapat dikatakan melambat dibandingkan dengan tahun 2011 yang sebesar 6,5% akibat krisis global yang belum memberikan sinyal membaik, bahkan di beberapa negara Eropa semakin memburuk hingga menginjak di akhir tahun 2012 yang lalu.

Di tahun 2012, konsumsi (rumah tangga) dan investasi memberikan kontribusi tertinggi dalam pertumbuhan ekonomi nasional dimana masing-masing menyumbangkan pertumbuhan sebesar 2,9% dan 2,4% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Didalam tulisan ini saya tidak akan membahas pertumbuhan ekonomi secara umum, tapi saya lebih mengkhususkan topik tulisan ini kedalam investasi, dan lebih dalam lagi, investasi yang dilakukan oleh pihak asing.

Berbicara mengenai investasi, banyak orang awam langsung membayangkan kegiatan transaksi di pasar modal baik dalam bentuk saham maupun obligasi. Betul memang ini merupakan salah satu bentuk dari investasi yang dijadikan sebagai salah satu variabel dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak juga secara keseluruhan dapat dibenarkan, karena sesuai teori makroekonomi. PDB adalah “nilai pasar dari barang ataupun jasa yang diproduksi/ditambahkan nilai gunanya dalam satu periode tertentu”. Sehingga transaksi bursa yang tercatat dan bervolatilitas dalam indeks IHSG tidak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tahunan, karena kegiatan tersebut berlangsung dalam pasar sekunder, dimana hanya terjadi pertukaran kepemilikan surat berharga, namun tidak menghasilkan nilai tambah terhadap instrumen keuangan itu sendiri. IPO atau Initial Public Offering adalah kegiatan investasi di pasar primer yang digunakan sebagai variabel pertumbuhan ekonomi. Selain melalui penawaran saham, investasi pun dapat dilakukan dalam portofolio yang antara lain berupa surat utang negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), ataupun portofolio lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah. Jenis investasi ini adalah Investasi Portofolio.

Selain itu terdapat pula Investasi Langsung, yang dalam hal ini berarti investasi baik dalam bentuk pendirian perusahaan, ataupun penambahan barang modal pada perusahaan yang telah berdiri yang berfungsi untuk menambah kapasitas produksi perusahaan yang tujuannya sudah barang jelas untuk memenuhi konsumsi masyarakat Indonesia.

Lalu apabila konsumsi dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Bagaimanakah dengan investasi? Secara umum investasi dibagi menjadi dua komponen, baik itu investasi asing (PMA—penanaman modal asing) ataupun investasi yang berasal dari dalam negeri (PMD—penanaman modal domestik), dan bila dilihat dari proporsi antara kedua jenis investasi tersebut, Investasi dari pihak asing masih merupakan kontributor terbesar dari seluruh akumulasi dana investasi yang ada.

Asing? Neolib?

Meningkatnya penanaman modal asing di negeri ini tampaknya telah memanaskan kuping segelintir golongan masyarakat, istilah neoliberal pun mulai jamak digaungkan, terlebih ketika Bailout Bank Indonesia pada Bank Century dengan nominal lebih dari 6T dikucurkan. Somehow, saya yakin bahwa mereka yang lantang menggaungkan kata-kata ini tidak sepenuhnya paham dari maksud neoliberalisme itu sendiri.

Dikutip dari Wikipedia, neoliberalisme adalah sebuah bentuk advokasi yang mendukung adanya liberalisme dalam perekonomian, mendorong terbentuknya pasar bebas, dan mengurangi peran serta sektor publik dalam perekonomian dan sebalikanya menambahkan peran sektor privat. Dari pengertian tersebut, sudah jelas masuknya pihak asing ke Indonesia tidak didasari oleh semangat akan neoliberalisme. Masuknya pihak asing (dalam bentuk investasi) didasari oleh minimnya pendanaan (lack of fund) yang dimiliki oleh pelaku ekonomi domestik. Tentu saja tanpa adanya kehadiran pihak asing, resource yang dimiliki Indonesia untuk mendukung pertumbuhan perekonomian menjadi tidak efektif dan pertumbuhan ekonomi tidak akan seperti saat ini.

Namun seperti judul pada tulisan ini... PMA isn’t a free lunch investment, dalam tulisan ini saya akan menekankan hal-hal yang perlu diwaspadai atau secara halusnya “lebih diperhatikan” pada Foreign Direct Investment.

FDI-Foreign Direct Investment

Direct Investment yang berasal dari PMA (diluar investasi portofolio) terbagi menjadi tiga sektor, sektor primer,sekunder, dan tersier. Sampai awal kuartal tahun 2013 kemarin, jumlah investasi asing dapat dirinci seperti berikut.

Dilihat dari data yang ada, lebih dari 70% investasi asing yang ditanamkan pada sektor bisnis sekunder maupun tersier. Namun, ada hal yang unik dari data tersebut, lebih dari “lima belas ribu juta US$” ditanamkan oleh pihak asing pada sektor bisnis primer di Indonesia, dan lebih dari 50% dana tersebut ditanamkan di sektor pertambangan, sesuai dengan data yang dirilis oleh BKPM dibawah ini.

Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia sukses menarik para investor asing untuk ikut serta mengeksploitasi SDA yang ada di nusantara ini. Harus diakui minim perusahaan nasional yang memiliki modal yang kuat untuk menjalankan bisnis ini, sehingga peran asing pun jelas masih sangat dibutuhkan. Namun seperti topik pada tulisan saya kali ini, sudah sewajarnya kita patut untuk harap-harap cemas atas perlakuan para investor asing tersebut dalam mengeksploitasi Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh bangsa ini, apakah mereka “membantu” pemerintah dalam mengeksplorasi yang ada atau justru para pihak asing “mengambil” apa yang seharusnya dapat kita nikmati ?

Berbicara mengenai investasi asing pada sektor pertambangan memang tidak dapat dipisahkan dari Freeport yang telah memulai usahanya semenjak tahun 1972 di Indonesia. Seperti kita ketahui unit usaha Freeport yang beroperasi di wilayah Timika ini mampu mengeksplorasi hingga 235.000 ton bijih emas setiap harinya, dan belum termasuk material lainnya seperti tembaga dan perak.

Saat ini,  situs penambangan di wilayah Timika tersebut—Grasberg mineral district—telah dibagi menjadi beberapa zona pertambangan oleh pihak Freeport, yaitu Grasberg Open Pit yang merupakan pertambangan terbuka/permukaan,lalu  DOZ underground mine, dan Big Gossan underground mine yang merupakan zona pertambangan bawah tanah. Dengan perkiraan resource Grasberg Open Pit yang diperkirakan akan habis pada tahun 2016 nanti setelah melalui proses penambangan selama 26 tahun lamanya, kini untuk mendukung pertambangan bawah tanah untuk mengeksplorasi dua zona yang tersisa, pihak Freeport berencana untuk melakukan investasi tambahan dengan akumulasi nominal mencapai satu miliar dollar Amerika, atau dengan asumsi nilai tengah mata uang Rupiah terhadap US Dollar adalah Rp 10.000, maka nominal investasi tersebut mencapai 10 Triliun Rupiah. Tentu nominal tersebut sangat besar untuk sebuah modal usaha yang dilakukan hanya oleh sebuah perusahaan. Apabila dilihat dari kacamata investasi, angka tersebut merupakan nilai yang sangat luar biasa, dibandingkan dengan total investasi asing di sektor pertambangan di tahun 2012, nilai “satu miliar dollar” tersebut sudah berkontribusi sebanyak 25% terhadap investasi di sektor pertambangan.

But that isn’t a free lunch, pihak investor pun meminta return yang sangat besar dari nilai investasi yang telah mereka tanamkan, eksploitasi besar-besaran pun dilakukan oleh pihak investor terhadap sumber daya alam yang kita miliki, dan hasil yang kita peroleh ? hanya berupa royalti sebesar 1% dari nilai jual untuk setiap emas yang di eksplorasi—berdasarkan perjanjian pemerintah dengan freeport diawal tahun 1990an (diluar pajak penghasilan)—yang menurut saya nilai ini cukup rendah dibandingkan dengan benefit yang pihak freeport peroleh dari kegiatan pertambangan yang dilakukan. Sudah saatnya pemerintah menaikkan posisi tawar pemerintah terhadap pihak investor dalam hal negosiasi kontrak, terlebih kontrak tambang freeport akan habis pada tahun 2016 yang akan datang, selain benefit secara fiskal, diharapkan pemerintah pun mampu mendorong terjadinya transfer of knowledge/technology dari pihak investor ke perusahaan lokal serta mampu membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua secara umum dengan bentuk Corporate Social Responsibility. Dalam hal ini, masyarakat berhak menuntut lebih dari pihak Freeport dikarenakan efek eksternalitas negatif dari pertambangan pun cukup besar, terlebih dari efek kerusakan lingkungan yang dihasilkan.

Semoga dengan adanya artikel ini, para pembaca mampu untuk lebih terbuka dan kritis terhadap isu-isu perekonomian strategis seperti halnya pengolahan sumber daya alam, dengan harapan kita tidak terlambat untuk berteriak ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang dengan keinginan para stakeholder mereka, masyarakat Indonesia :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline