Lihat ke Halaman Asli

Rizki Fujiyanti

Mahasiswi Universitas Pamulang

Menanti

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menanti
Di pelabuhan itu aku menunggunya, tak peduli hujan ataupun panas. Sudah lima tahun ia pergi. Padahal janjinya tiga tahun setelah bekerja di rantau akan pulang. Baru kali ini pria itu membohongiku.
Lagi-lagi raga ini menelan perasaan pahit saat yang ditunggu tak juga datang. Jangankan pulang, kabar pun tidak ada. Namun setiap bulan tetap ada kiriman uang darinya. Sebenarnya ke mana lelaki pelindungku itu? Hanya dia yang kupunya dalam hidup.
Sesampai di rumah aku menyapu halaman yang dipenuhi daun kering. Terlihat wanita tua bernama Mbok Suminah memanggul seikat besar kayu bakar. Ia tersenyum, hal itu memperjelas guratan di setiap sisi wajahnya.
"Tono belum pulang juga, Mir?" Ia bertanya saat tepat lewat di hadapanku.
"Belum, Mbok."
"Loh? Katanya pergi cuma tiga tahun, kok sudah lima tahun belum pulang juga?"
"Aku juga ndak tahu, Mbok. Mungkin ada perpanjangan masa kerja."
"Oalah. Iyo, iyo. Yo wis, Mbok pulang dulu yo. Mau kasih makan ayam." Wanita itu berlalu.
"Iyo, Mbok," jawabku di tengah kegamangan. Rasa perih menyeruak mana kala teringat satu-satunya orang yang kupunya dalam hidup tidak ada kabar.
*****
Udara panas, aku berdiri di pelabuhan dengan payung hitam yang biasa menemani diri ini dalam penantian. Kapal besar menepi, beberapa orang turun dari sana membawa tas besar. Mataku bergerak liar mencari sosoknya.
"Mira!" Seseorang di antara kerumunan itu melambaikan tangan ke arahku.
Ah, itu dia! Tak henti-hentinya kuucap rasa syukur saat melihat sosok itu. Aku berjalan cepat ke arahnya. Namun saat ia mulai mendekat langkah ini terhenti.
"Kenapa, Sayang?" tanyanya seraya ingin memeluk tubuh yang mematung ini.
Dengan cepat aku menepisnya. "Dia ..., siapa?" Aku menunjuk wanita yang tengah menggendong bayi yang berdiri di sebelahnya. Wanita itu tersenyum kepadaku.
Pria itu terdiam lantas menunduk. "Di-dia Anggun, istri baruku."
Lutut terasa lemas sedang hati remuk mendengarnya. Istri baru? Kata-kata konyol macam apa itu? Tak terasa payung di genggamanku terjatuh.
"Maaf, tidak meminta izin terlebih dahulu."
"Aku menunggu selama dua tahun ternyata malah pulang dengan istri baru. Setidaknya harus izin padaku saat hendak menikahinya!" Air mata tumpah seketika membuat beberapa aliran sungai kecil tak beraturan di pipi. Beberapa orang memperhatikan kami. "Sejak kapan?" Suaraku melemah.
"Sejak dua tahun di sana, Mira."
"Tapi aku ndak ingin punya ibu baru, Pak." Tubuh ini merosot, aku memegangi kaki kokohnya.
"Bapak kesepian semenjak ditinggal ibumu, Nduk. Kebetulan di rantau Bapak bertemu denganAnggun, akhirnya kami menikah." Pria itu mengusap rambutku. "Tenang, dia orang yang baik. Semoga bisa menggantikan ibumu."
Bapak tidak pernah tahu bahwa posisi Ibu tidak akan tergantikan dalam hati ini. Aku harus berbesar hati menerima kenyataan. Bayi dalam gendongan wanita itu otomatis adalah adik tiriku. Ya Tuhan, kuatkanlah hati ini.
Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline