Demokrasi liberal adalah demokrasi yang memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada warga negara. Demokrasi liberal sempat diterapkan di Indonesia pada tahun 1949-1959 dengan ciri menjamurnya partai politik di Indonesia dan diterapkannya kabinet parlementer. Pada masa ini berdasarkan pada UUDS pemerintah bersifat parlementer dalam artian kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Sistem Demokrasi liberal atau parlementer pembuat presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan parlemen melakukan tugas pemerintahan. Menjamurnya partai politik tentunya karena sistem partai yang digunakan adalah sistem multi partai maklumat pemerintah 3 November 1945. Menurut Putri (2024) dalam jurnalnya terdapat 30 partai politik yang tercatat pada masa itu dan terdapat juga 4 partai besar yang memiliki peran dominan yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam waktu 9 tahun kabinet ini telah berganti sebanyak 7 kali, adapun kabinetnya adalah Kabinet Natsir (1950--1951), Kabinet Sukiman (1951--1952), Kabinet Wilopo (1952--1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953--1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (1955--1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956--1957) dan terakhir Kabinet Djuanda (1957--1959) (Sucipto, 2018). Seringnya pergantian kabinet yang dilakukan pada masa parlementer ini akibat perbedaan kepentingan dan pemikiran. Semuanya bersikeras untuk mempertahankan ideologinya hingga berujung pada impeachment dan peristiwa keamanan nasional yang terus terguncang (Diapepin, 2020). Supaya dapat menilik lebih lanjut dinamika pemerintahan pada demokrasi liberal maka perlu membahas juga tentang sebab keruntuhan dari kabinet pada masa ini, adapun gambarannya akan dijelaskan sebagai berikut:
Kabinet Natsir (1950--1951), kabinet ini adalah kabinet pertama yang memimpin Indonesia setelah RIS dibubarkan. Kabinet natsir adalah kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi yang tentunya kental dengan keislamannya. Oposisi dari kabinet ini adalah PNI, latar belakang dari keputusan tersebut karena PNI merasa tidak diberikan kedudukan yang sesuai. Adapun yang menjadi pokok pada kabinet ini adalah menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman; konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan; menyempurnakan organisasi angkatan perang; mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan; dan memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. Namun sangat disayangkan pada masa kabinet ini pemberontakan hampir diseluruh wilayah. Permasalahan yang tidak kunjung selesai dan kondisi yang tidak stabil membuat PNI mengajukan mosi tidak percaya yang akhirnya membuat kabinet ini runtuh dan digantikan (Diapepin, 2020).
Kabinet Sukiman (1951--1952), Kabinet Sukiman runtuh karena berbagai faktor yang melemahkan posisinya. Salah satunya adalah ketegangan hubungan dengan militer, terutama karena kebijakan yang dianggap kurang tegas dalam menangani pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Situasi semakin memburuk setelah Menteri Luar Negeri Subardjo menandatangani Mutual Security Act (MSA) dengan Amerika Serikat, yang memberikan bantuan ekonomi dan militer tetapi dinilai merugikan prinsip politik luar negeri bebas-aktif Indonesia. Perjanjian ini memicu tuduhan bahwa Kabinet Sukiman telah membawa Indonesia ke dalam Blok Barat, sehingga mendapat kritik keras dari DPR. Akibatnya, PNI dan Masyumi menarik dukungannya, yang akhirnya membuat kabinet ini jatuh dan mengembalikan mandat kepada Presiden (Diapepin, 2020).
Kabinet Wilopo (1952--1953), runtuh akibat berbagai permasalahan politik dan ekonomi yang menggoyahkan kedudukannya. Salah satu persoalan utama adalah Peristiwa 17 Oktober 1952, di mana militer, yang merasa tidak puas dengan campur tangan parlemen, menuntut pembubaran parlemen dan meminta Presiden Soekarno memimpin langsung pemerintahan hingga pemilu. Presiden menolak tuntutan tersebut, tetapi peristiwa ini menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Masalah lain yang signifikan adalah konflik agraria di Tanjung Morawa, Sumatera Timur. Pemerintah, demi mematuhi hasil KMB dan meningkatkan devisa, menyetujui tuntutan pengusaha asing untuk mengembalikan tanah perkebunan yang dikuasai rakyat sejak masa pendudukan Jepang. Kebijakan ini memicu bentrokan pada 16 Maret 1953, di mana aparat menembak pengunjuk rasa, menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Peristiwa ini digunakan oleh oposisi untuk menyerang kabinet. Akibat tekanan dari berbagai pihak dan mosi tidak percaya yang diajukan parlemen, Kabinet Wilopo akhirnya mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 2 Juni 1953 sebelum mosi tersebut disahkan (Diapepin, 2020).
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953--1955), Kabinet Ali Sastroamidjojo runtuh karena menghadapi berbagai tantangan berat, baik di tingkat domestik maupun internasional. Di dalam negeri, kabinet ini berhadapan dengan gerakan separatis dan pemberontakan, termasuk perlawanan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Tuntutan PUSA agar Aceh menjadi provinsi dengan perhatian khusus pada pembangunannya diabaikan, sehingga Aceh menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosuwiryo pada September 1953. Selain itu, upaya kabinet untuk meningkatkan kemakmuran terhambat oleh inflasi dan tingginya kasus korupsi. Konflik dengan Angkatan Darat semakin memperburuk keadaan, menciptakan ketegangan yang merusak stabilitas politik. Akibat berbagai kemelut tersebut, partai-partai pendukung menarik menterinya dari kabinet. Pada 24 Juli 1955, Ali Sastroamidjojo akhirnya mengembalikan mandat kepada Wakil Presiden karena Presiden Soekarno sedang menjalankan ibadah haji. Meskipun kabinet ini gagal mempertahankan posisinya, mereka berhasil menyiapkan pemilu pertama di Indonesia dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika, yang menjadi pencapaian penting dalam sejarah diplomasi Indonesia (Diapepin, 2020).
Kabinet Burhanuddin Harahap (1955--1956), Kabinet Burhanuddin Harahap runtuh setelah pemilu pertama Indonesia pada 1955 menghasilkan perubahan dalam komposisi perwakilan di DPR, yang menggeser keseimbangan politik. Kabinet ini awalnya berhasil mencatatkan beberapa prestasi, seperti menyelenggarakan pemilu pertama, mengembalikan posisi Nasution sebagai KSAD untuk menyelesaikan konflik militer, dan membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Namun, sebagai kabinet transisi, peran utama kabinet ini adalah memfasilitasi peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil pemilu. Setelah hasil pemilu diumumkan, kabinet ini kehilangan dukungan politik yang diperlukan untuk melanjutkan pemerintahan. Akibatnya, pada 3 Maret 1956, Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956--1957), Kabinet Ali Sastroamidjojo II runtuh akibat berbagai konflik internal dan eksternal. Perbedaan pendapat di dalam koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU sering kali memicu ketegangan, sementara Presiden Soekarno menginginkan pembentukan kabinet "berkaki empat" yang melibatkan PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Ketidakhadiran PKI dalam kabinet ini memperbesar jarak antara presiden dan kabinet. Selain itu, pengunduran diri Wakil Presiden Moh. Hatta memperburuk situasi. Hatta merasa perlu mundur setelah terbentuknya DPR dan Konstituante, namun alasan lainnya adalah perbedaan pandangan yang mendalam dengan Soekarno mengenai arah politik dan pengambilan keputusan. Secara eksternal, kabinet ini menghadapi pergolakan daerah yang meningkat, berkembangnya semangat anti-China di masyarakat, dan munculnya gerakan separatis. Ketegangan yang terus meningkat akhirnya menyebabkan kabinet ini tidak mampu bertahan dan jatuh pada 4 Maret 1957 (Hikam, 2023).
Kabinet Djuanda (1957--1959), Kabinet Djuanda, yang dikenal sebagai kabinet darurat ekstra parlementer, runtuh karena berbagai tantangan politik dan sosial yang signifikan. Kabinet ini dibentuk oleh Presiden Soekarno pada 9 April 1957, dengan fokus pada normalisasi keadaan negara, pembatalan Perjanjian KMB, perjuangan Irian Barat, dan percepatan pembangunan. Namun, kabinet ini menghadapi pergolakan serius di daerah yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Salah satu tantangan utama adalah pemberontakan PRRI dan Permesta. Konflik ini dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat dan tokoh militer di Sumatera dan Sulawesi yang merasa kesejahteraan di daerah mereka diabaikan. Kekecewaan ini diperburuk oleh konflik internal di Angkatan Darat, yang melibatkan tuntutan otonomi daerah oleh politisi dan tokoh militer. Beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi, bahkan membentuk organisasi militer untuk menentang kebijakan pemerintah pusat, dengan Piagam Permesta diumumkan pada 2 Maret 1957. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi pergolakan daerah ini menunjukkan kelemahan dalam merangkul semua golongan dan daerah untuk bersatu dalam mempertahankan kemerdekaan. Situasi ini menciptakan ketidakstabilan yang berkepanjangan (Hikam, 2023).
Kondisi yang terus-menerus berganti kabinet tidak bisa menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia pada saat itu karena bisa dibilang kondisi politik yang tidak stabil. Hingga pada akhirnya soekarno mengeluarkan dekrit pada tahun 1959. Dekrit ini bisa disebut sebagai keputusan darurat yang dikeluarkan oleh kepala negara. Seorang hakim di amerika yang bernama Hakim U.S, Posner (dalam Hermawan, 2022) menjelaskan bahwasanya "A constitution that will not bend will break" dapat diartikan bahwasannya "Konstitusi yang tidak mau menekuk akan patah". Dengan kalimat tersebut Posner ingin menjelaskan bahwasannya kebutuhan dan keadaan bersifat dinamis namun hal tersebut tetap perlu diatur dalam konstitusi. Tidak selamanya Negara dalam keadaan yang stabil dan normal terkadang terdapat kondisi yang mendesak atau tidak lazim yang akhirnya diperlukan suatu tindakan ketatanegaraan dalam rangka menyelesaikan masalah darurat (Hermawan, 2022). Karena kondisi yang cukup urgen akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 dengan isi yang dikutip dari Pujosantoso (2018) yaitu:
"(1) Menetapkan pembubaran Konstituante; hal ini terjadi karena konstituante dianggap gagal dalam merumuskan UUD yang baru dan setelah pemungutan suara tanggal 2 Juni 19659, konstituante tidak lagi bersidang atau membubarkan diri. (2) Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950. Hal ini sejalan dengan cita--cita awal berdirinya Negara Indonesia yang tercantum dalam Piagam Jakarta. (3) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya."