Lihat ke Halaman Asli

Komnas Pengendalian Tembakau Desak Pemerintah Aksesi FCTC

Diperbarui: 20 Juni 2017   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi

Surabaya - Berbicara tentang rokok memang menjadi obyek yang menarik dan seakan tak pernah ada habisnya untuk dibahas, bahkan sering kali menimbulkan pro dan kontra ketika perbincangan mengenai rokok tersebut dilakukan. Mulai dari permasalahan dampak kesehatan, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bukan hanya bagi perokok aktif namun bagi yang pasif atau orang yang tidak merokok hal ini juga menjadi permasalahan, bahkan dari petani tembakau pun juga ikut bersuara.

Mengenai dampak kesehatan misalnya, sekalipun saat ini pada bungkus rokok yang dijual dipasaran sudah terpampang jelas bahaya rokok untuk kesehatan, ternyata masih saja banyak masyarakat yang mengabaikannya.

Data dari Kementerian Kesehatan (Depkes.go.id: 2016), menunjukkan bahwa peningkatan prevalensi perokok dari 27% pada tahun 1995, meningkat menjadi 36,3% pada tahun 2013. Artinya, jika 20 tahun yang lalu dari setiap 3 orang Indonesia, 1 orang diantaranya adalah perokok, maka dari setiap 3 orang Indonesia, 2 orang diantaranya adalah perokok.

Keadaan ini semakin mengkhawatirkan, karena prevalensi perokok perempuan turut meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 6,7% pada tahun 2013. Dengan demikian, pada 20 tahun yang lalu dari setiap 100 orang perempuan Indonesia 4 orang di antaranya adalah perokok, maka dari setiap 100 orang perempuan Indonesia 7 orang diantaranya adalah perokok.

Bahkan yang lebih mencengangkan lagi adalah kebiasaan buruk merokok juga meningkat pada generasi muda. Data menunjukkan bahwa prevalensi remaja usia 15-19 tahun yang merokok meningkat 3 kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi 20,5% pada tahun 2013. Selain itu yang lebih mencengangkan lagi adalah usia mulai merokok semakin muda (dini). Perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, yaitu dari 0,5% di tahun 1995 menjadi 3,7% di tahun 2013.

Sejumlah peraturan untuk menekan angka perokok bagi kalangan muda pun sempat dibuat, bahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 64 tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah, juga pernah diterbitkan pada era Anis Baswedan. Namun cara itu dinilai belum efektif lantaran peraturan tersebut tidak diimbangi dengan regulasi dari berbagai aspek lainnya. Seperti salah satu contohnya mengenai pengendalian produksi tembakau.

Seringkali pengendalian produksi tembakau dikhawatirkan dapat memunculkan kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, demi membatasi suplai dan kompetisi. Ini disebabkan karena kuota tembakau yang dapat dihasilkan di suatu negara juga akan diatur. Bila di suatu negara jumlah produksi tembakau tidak sebanding dengan jumlah perokok, maka berakibat pada negara tersebut akan mengimpor daun tembakau atau bahkan yang malah lebih parah akan mengimpor rokok jadi.

Menyikapi hal tersebut, Komnas Pengendalian Tembakau mendesak pemerintah untuk segera mengaksesi FCTC.

Dikatakan Widyastuti Soerojo, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) pada Komnas Pengendalian Tembakau saat mengisi workshop bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, di Hotel Ibis City Center Surabaya, Selasa (4/1), sebagai pangsa pasar yang potensial di masa depan, Indonesia harus meratifikasi FCTC.

FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau kerangka kerja pengendalian tembakau adalah perjanjian internasional yang dirancang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk membentuk aturan global atas pengendalian tembakau.

Tujuannya, untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi akibat konsumsi serta paparan asap tembakau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline