STOVIA atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen merupakan salah satu sekolah kedokteran yang didirikan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1850 dengan tujuan utama menghasilkan para dokter jawa atau dokter pribumi. Pendirian sekolah ini bukan tanpa alasan, melainkan sebgai sebuah upaya tindak lanjut atas wabah penyakit tropis yang menyerang masyarakat Banyumas pada kurun 1847-an. Lantaran kekuarangan tenaga medis dokter Belanda, maka Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda melalui usulan Dr. W. Bosch mendirikan sekolah untuk mendidik beberapa pribumi guna membantu tenaga medis dokter belanda.
Selama ini, kita mengenal STOVIA sebagai sebuah sekolah kedokteran, juga sebagai saksi peristiwa kebangkitan nasional. Ya, karena di STOVIA inilah sebuah organisasi kepemudaan modern pertama yang menyuarakan persatuan dan kesatuan berdiri. Apalagi kalau bukan Budi Oetomo yang didirikan pada 21 Mei 1908 oleh dr. Soetomo dan kawan-kawan. Sehingga tidak mengherankan, jika kita mengenal STOVIA sebagai titik awal cita-cita persatuan menuju kemerdekaan disuarakan. Selain dari peranannya sebagai pelopor kebangkitan nasional dan menghasilkan dokter-dokter Jawa, STOVIA juga memiliki perjalanan panjang tentang pendidikan. Namun di luar itu, taukah kamu tentang kisah dua mahasiswi pertama yang berjuang sekaligus mendapatkan jodoh di STOVIA? Cerita ini tentu jarang diberitakan, lantaran selama ini kita menilai pernanan STOVIA sebagai salah satu penggerak utama semangat pemuda dalam pergerakan nasional.
Awalnya STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) merupakan sebuah pendidikan atau sekolah kedokteran untuk kalangan laki-laki dari putera bangsawan atau kaum elit pribumi. STOVIA mulai menerima siswa perempuan semenjak sadar akan kebutuhan ‘tenaga’ perempuan untuk membantu pasien melahirkan. Atas usul Charlotte Jacobs kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bahwa STOVIA membutuhkan pelajar perempuan, maka masuklah dua perempuan pertama yang menjadi mahasiswa kedokteran STOVIA di tengah kurang lebih 200 (dua ratus) siswa laki-laki. Menariknya, kedua dokter perempuan ini mendapatkan suami yang tidak lain adalah dari lulusan STOVIA.
Marie Thomas dan Muhammad Yusuf
Marie Thomas merupakan mahasiswi STOVIA pertama yang masuk pada 1912 dari pasangan Adriaan Thomas dan Nicolina Maramis. Beliau kelahiran Likopang, sebuah daerah di Minahasa-Sulawesi Utara. Ia adalah mahisiswa berprestasi, dibuktikan dengan nilai kelulusannya yang sangat memuaskan. Marie lulus dari STOVIA pada 26 April 1022 dan setelahnya ia berjodoh dengan salah satu adik tingkat dari STOVIA, bernama dr. Muhammad Yusuf. Setelah menikah pada 16 Maret 1929, keduanya bertolak ke Padang (asal suaminya) sebagai dokter pemerintahan. Namun jiwa kemanusiaan yang besar membuat Marie Thomas, membuka praktek sekaligus apotik untuk pasien yang kurang mampu untuk berobat selain juga menjadi dokter pemerintah. Mereka juga merawat anak-anak yang terpisah dari orang tuanya pada zaman Penjajahan Jepang. Oiya… Marie dan M. Yusuf dikaruniai dua anak bernama Sonya dan Ei
Dedikasi Marie dan Muhammad Yusuf sebagai pasangan suami istri berlanjut dengan membuka sekolah kebidanan di Bukittinggi. Sekolah kebidanan tersebut merupakan sekolah kebidanan pertama di Sumatera sekaligus kedua di Indonesia. Kisah cinta keduanya tidak akan padam. Ketika Marie Thomas menjemput ajalnya pada 10 Oktober 1966, ia dimakamkan di dekat makam suaminya (Muhammad Yusuf) yang terletak di dekat Menara Jam Gadang Sumatera Barat. Keduanya dikenal sebagai pahlawan kedokteran Indonesia.
Anna Warouw dan Jean Edward Karamoy
Wanita kedua yang menjalin hubungan asmara di STOVIA bernama Anna Adeline Warouw Karamoy. Selain sebagai dokter perempuan kedua setelah Marie Thomas, Anna juga dikenal sebagai dokter spesialis di bidang otolaringologi. Anna lahir di Amurung, sebuah daerah di Minahasa-Sulawesi Utara pada 23 Februari 1898. Anna dan adiknya Samuel Yusuf Karamoy, belajar di STOVIA pada 1914. Lantaran Anna merupakan perempuan, ia terpaksa menginap di kediaman pamannya selama menempuh pendidikan di STOVIA. Selama menjalani masa pendidikannya, Anna dikatakan sebagai teman baik dari Marie Thomas. Keduanya bahkan memiliki sebutah “Si Kembar” atau “de twelling”.
Anna menjalin asmara dan menikah dengan salah seorang doter di STOVIA bernama Jean Eduard Karamoy. Setelah lulus dari STOVIA, Anna mengikuti langkah suaminya untuk bertolak ke Eropa. Sementara suaminya mengambil pendidikan dokter di Jerman, Anna mengambil studi spesialis otolaringologi di Universitas Leiden-Belanda. Semasa di Eropa keduanya sibuk dengan urusan pendidikannya, meskipun sesekali bercengkrama ketika musim libur tiba.
Setelah keduanya menamatkan pendidikan lanjutan di Eropa, mereka kembali ke Hindia Belanda dan ditugaskan sebagai dokter pemerintah Belanda di Batavia, juga sebagai dokter di Jemaah Haji. Kesetiaan Anna untuk suaminya sangatlah besar. Ia selalu mengikuti jejak kemanapun suaminya bertugas. Tercatat, Anna pernah berpindah tugas ke Semarang, Kudus, Tegal, Dabo Singkep, hingga ke Bandung pada lembaga paster.
Setelah lama berkarir di Jawa, Anna dan suaminya memutuskan kembali ke Manado dan mengabdikan diri sebagai dokyer di Rumah Sakit Gunung Wenang (sekarang Hotel Peninsula). Selain sebagai dokter, Anna juga seorang peneliti di laboratorium dan juga seorang tenaga pengajar di Universitas Sam Ratulangi. Anna Warouw meninggal pada 1978, dengan menyisakan cerita kesetiaan wanita karir kepada suaminya.