Lihat ke Halaman Asli

Membusukkan Versus Mem-blusuk-an Syariat

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika para politisi dan tokoh masyarakat sibuk beretorika dan membuat larangan atas nama agama dan budaya, pergeseran nilai dan perubahan sosial yang semakin permisif bergerak dalam kecepatan yang melampaui segala basa-basi moralitas. Tidak ada ceramah pejabat yang bisa mengalahkan hebatnya tawaran kemaksiatan dan kriminalitas yang mudah diakses dari internet di ponsel misalnya. Lantas, dimana penerapan Syariat Islam akan bisa meresap ke masyarakat jika hanya melalui regulasi berupa lembaran kertas, spanduk, hukuman, dan petugas berseragam?

Jika kita tarik mundur jauh ke sejarah, apakah kejayaan kerajaan Aceh dengan tradisi keislamannya di masa lalu bisa secara paralel disejajarkan dengan semangat penerapan syariat Islam masa kini? Jika di masa lalu elemen keislaman tak terbatas pada formalisasi syariat melainkan menjadi bagian dari dinamika kekayaan literatur sastra, arsitektur, tarekat, dan hukum, maka apakah penerapan syariat Islam kini hanya untuk merespon arus liberalisasi dan memapankan daya tawar politik?

Diskursus Syariat Islam bukanlah sesuatu yang berdiri di ruang hampa. Artinya, ketika ia diformalkan dalam institusi, akan terjadi intervensi dan adaptasi terhadap konteks politik. Hal ini lazim terjadi mengingat implementasinya akan selalu melalui proses kepentingan dan pertimbangan dari para pembuat dan pelaksana kebijakan.

Sejarah dan Masa Kini: Paralel atau tidak?

Serambi Mekkah adalah sebutan yang disematkan kepada Aceh karena Aceh dipercaya sebagai tempat awal penyebaran Islam di nusantara dan berperan penting dalam penyebarannya di Asia Tenggara. Kesultanan Aceh di abad ke-17 merupakan kerajaan terkuat dan terkaya di Selat Malaka. Disitulah tercatat Aceh berperan sebagai wadah literatur Melayu Islam dan kota pelabuhan Asia Tenggara, tempat dimana para penjelajah, pedagang, dan cendikiawan berinteraksi dan berkembang dalam kehidupan kosmopolitan.

Hanya saja, sejarah tak bisa diputar ulang. Sejarah yang kita ketahui adalah keping-keping yang didapat melalui rekonstruksi memori politik, artinya tidak ada keutuhan yang dapat kita pahami dari masa lampau. Oleh karena itu, mengacu pada masa kini dan masa depan lebih penting ketimbang berimaji bahwa kisah dahulu adalah realitas kebenaran ideal.

Mengacu pada masa kini berarti kita melandasi analisa dan kebutuhan syariat Islam berdasarkan persoalan riil dari perkembangan kontemporer. Kenyataannya, dunia memang berubah. Tak ada lagi Kesultanan Aceh. Poros kekuatan geopolitik regional juga tak lagi di Kuta Radja atau Pasai. Alhasil, secara tak langsung struktur, pandangan, dan dinamika masyarakat Aceh juga tidak bisa diparalelkan dengan situasi masa lampau.

Pascatsunami, sulit untuk melakukan tarikan yang proporsional di Aceh terhadap bangunan syariat Islam jika kita hendak menyambungkannya dengan diskursus sejarah. Selain konstelasi politik, sosial dan budaya yang jauh berbeda, penyerapan nilai dan budaya masyarakat terhadap aturan atas nama Islam juga berbeda. Globalisasi dan pesatnya teknologi informasi membuat berbagai pengaruh gaya hidup nyaris tak terbendung lagi.

Dalam hasil rumusan MPU Provinsi Aceh No.2/2008 tentang Saresahan Pelaksanaan Syariat Islam, terdapat beberapa kesimpulan yang penting. Beberapa diantaranya adalah perlunya mekanisme kontrol terhadap penegakan syariat Islam, salah satunya evaluasi terhadap pelaksanaan qanun-qanun yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Diantara 8 poin indikator keberhasilan pelaksanaan syariat Islam, poin terakhir merupakan yang paling komprehensif dan substantif, yaitu “terwujudnya manusia-manusia yang berakhlak Islami dalam interaksi masyarakat.”

Meski begitu, kewaspadaan juga tercatat di dalam poin 4.e. yang tertulis “Pemerintah prov NAD berkewajiban mengawasi NGO dan lembaga lainnya agar tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang melecehkan syariat Islam dan tatanan masyarakat Aceh yang Islami.”

Frasa ‘melecehkan syariat Islam’ di atas bahkan ditarik lebih keras lagi oleh sebagian kalangan sebagai ‘pembusukan syariat Islam’.  Sayangnya, asumsi tersebut takkan efektif sebagai ‘mekanisme kontrol’ untuk mewujudkan manusia berakhlak Islami dalam interaksi masyarakat, sebagaimana tertera dalam indikator keberhasilan pelaksaan syariat Islam.

Pem-blusuk-an, Bukan Pembusukkan

Beberapa waktu lalu, didahului oleh beberapa peristiwa kontroversial, muncul pertarungan wacana soal implementasi Syariat Islam di Aceh. Salah satu argumennya adalah ada upaya-upaya pembusukan terhadap Syariat Islam mengatasnamakan HAM. Istilah pembusukkan ini merujuk pada kritik dan sorotan atas berbagai kasus razia yang dilakukan Polisi Syariah terkait qanun tentang busana muslim dan khalwat, yang dianggap diskriminan dan tidak adil dalam penerapannya.

Pembelaan sekelompok kalangan terhadap formalisasi Syariat Islam disertai kecurigaan atas kritik yang bermunculan berada pada sisi berseberangan dengan kalangan yang mengungkapkan kritisisme terhadap penerapan Syariat Islam. Padahal, esensinya hanya pada penerapan, tapi akhirnya berkelindan menjadi diskursus yang rumit: ini menjadi soal ‘marwah’ bersama, identitas, budaya luhur, penyelamatan moral generasi mendatang, dan nostalgia sejarah.      

Daripada sibuk berwacana ‘pembusukkan’ syariat Islam, lebih baik melangkah dari asumsi konspirasi dan sentimentil keislaman masa lalu menuju sesuatu yang bersentuhan langsung dengan persoalan: perubahan sosial di masyarakat. Mekanisme kontrol dan evaluasi penerapan syariat Islam tak perlu dengan sikap defensif, melainkan preventif dengan cara progresif.

Untuk itu, seragam bisa disingsingkan dan spanduk diturunkan. Revitalisasi adat juga tak cukup hanya menghidupkan kembali satuan adat di gampong atau mukim untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat, karena hal itu masih terbatasi hirarki struktur dalam pola komunikasi politik. Opsi lainnya adalah meniru bentuk yang jauh lebih egaliter dan simpatik. Ini adalah bentuk sosialisasi dan infiltrasi ala Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang amat populer: blusukan.

Blusukan ala Jokowi diartikan sebagai bagian dari manajemen kontrol, yaitu pemimpin harus turun langsung ke lapangan, tidak hanya tergantung pada laporan anak buah. Hal ini dilakukan untuk berbincang langsung dengan warga dan mendengarkan persoalan mereka, karena akan berbeda jika aspirasi tersebut disampaikan oleh pihak ketiga. Cara seperti ini penting untuk menyelaraskan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan kebijakan.

Dalam konteks penerapan dan evaluasi qanun Syariat Islam, Dinas Syariat Islam, Polisi Syariah, dan Tim Amar Ma’ruf Nahi Munkar bisa menjalankannya dengan metode serupa. Caranya adalah dengan turun langsung ke berbagai mukim atau gampong untuk berdialog dengan masyarakat. Menanyakan pandangan, saran, maupun keluhan masyarakat terhadap penerapan syariat Islam di wilayah mereka. Setiap tempat bisa memiliki prioritas persoalan yang berbeda.  Kegiatan ini perlu dilakukan spontan, tanpa ada tenda seminar atau pertemuan resmi. Biarkan jarak kekuasaan itu menghilang. Biarkan para aparat ‘penegak’ Syariat Islam berbicara berhadapan langsung dengan masyarakat, menghampiri mereka satu per satu. Mendengarkan dan mencatat segala masukan sekaligus melakukan sosialisasi simpatik.

Pendekatan komprehensif dengan jaringan yang lebih terbuka juga perlu. Edukasi soal pentingnya Syariat Islam bisa dilakukan dengan cara merangkul kelompok komunitas, masyarakat sipil dan kepemudaan melalui ajang diskusi dan kreativitas bersama tanpa batasan birokratis. Kerjasama Dinas Syariat Islam dengan kelompok perempuan dan kepemudaan, misalnya, dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan reproduksi remaja dari kota hingga ke desa. Ini bertujuan agar kaum muda tak hanya dirazia soal ‘mesum’, tetapi diberikan pengertian mendasar tentang pentingnya menjauhi prilaku seks bebas dan etika keislamannya. Caranya tentu tak harus dengan seminar resmi yang membosankan dan menggurui.

Jikalau wacana soal ekonomi syariah, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan berkeadilan sebagai dimensi sosial syariat Islam masih sekadar impian, maka setidaknya upaya menata masyarakat Aceh modern melalui norma sosial dapat dilakukan. Disini, pemblusukan Syariat Islam berarti melepas sekat-sekat formalitas dan mentransformasi syariat ke isu-isu yang memang dekat dengan pemahaman masyarakat yang lebih riil masa kini. Yang terpenting adalah mekanisme itu juga harus didasari pada perspektif keadilan yang berkesinambungan, sehingga ungkapan adat ngen hukom lagee zat ngen sifeut dapat kembali menjadi ruh bersama masyarakat Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline