Lihat ke Halaman Asli

Film Sebagai Sarana Pendidikan bagi Khalayak

Diperbarui: 20 September 2015   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dapat kita ketahui jaman sekarang anak-anak lebih dominan menonton film yang berbau tontonan anak dewasa yang kecenderungan tidak mendidik, bukan lagi film anak-anak yang seumuran mereka yang seharusnya mereka nikmati bukan hanya untuk hiburan tetapi juga untuk sarana pendidikan, contohnya anak- anak lebih suka menonton film seperti Ganteng-ganteng Serigala dimana film itu hanya menayangkan adegan action dan percintaan dimana adegan itu secara tidak langsung dapat memberikan rangsangan atau bujukan kepada anak-anak untuk dapat menirukan gaya pemain film tersebut. Jika seorang anak menonton terus menerus adegan tersebut itu akan bisa berpengaruh pada perilaku anak tersebut, berdasarkan data kepemirsaan Nielsen GGS mampu meraih rating yang tinggi yaitu diatas 6,0 dan 25 dan menjadi program drama sinetron nomor 1. Jadi, tak heran jika jaman sekarang banyak anak-anak yang suka memakai kekerasan diusia dini dan banyak juga anak anak yang sudah dewasa sebelum waktunya.

Tak hanya bagi anak-anak tetapi orang dewasa juga kerap menikmati film tersebut. Joseph T. Kappler melaporkan “bahwa orang-orang mencari hiburan karena mereka ingin melepaskan tekanan emosinya dari beratnya kehidupan sehari-hari”. (Kappler, 2004:287)

Rivers (2004) menjelaskan bahwa film mempunyai kemampuan untuk dapat menghipnotis khalayak , sehingga khalayak selalu  dapat menerima apa saja yang sudah disajikan oleh film. Sehingga film dapat menciptakan komunitas penggemar, yang dimana setiap anggotanya terdorong untuk melakukan adegan yang ada di film seolah-olah mereka mengidentik diri mereka di film tersebut. (Rivers, 2004: 291)

Penulis berpendapat bahwa film yang beradegan kekerasan tak hanya menimbulkan dampak negative bagi khalayak bahkan adegan kekerasan tersebut dapat menghasilkan dampak positif untuk sebagian khalayak yang dimana seseorang yang dapat memilah-milah atau dapat berfikir secara hati-hati dan mendalam, serta dapat mempertimbangkan pemikirannya dimana perilaku tersebut baik untuk di contoh atau sebagai pembelajaran saja.

Menurut Aristoteles dalam Vivian (2008) menyatakan bahwa seseorang yang menonton film kekerasan akan membuat seseorang itu melepaskan tekanan dalam dirinya atau frustasi yang mungkin bisa meledak jika tidak disalurkan. (Vivian, 2008: 486)

Dalam buku Teori Komunikasi Massa kasus ini dapat menghasilkan teori Catalytic dimana teori ini beranggapan bahwa kekerasan di media dapat mempengaruhi tindak kekerasan di dalam pribadi khalayak tetapi tidak memicunya. Sehingga kekerasan yang ada di adegan tersebut mempunyai peran dalam hal kekerasan tetapi tak semua media memicu  kekerasan di dunia nyata. Tetapi mental anak tak sekuat mental orang dewasa dimana kepribadian anak terbentuk dari pengalaman, tak heran jika anak kerap menonton adegan berbahaya di dalam film itu dapat membuat pribadi anak tersebut menjadi buruk disbanding anak-anak yang tidak menonton adegan kekerasan.

Peneliti Monroe Lefkowitz meneliti bahwa murid kelas tiga di New York menonton banyak kekerasan di media. Sepuluh tahun kemudian lefkowitz menemukan bahwa murid tersebut di kenal sebagai individuyang kasar oleh teman-temannya. (Vivian, 2008: 488)

Jadi kepribadian anak jauh lebih mudah di pengaruhi oleh media, karena kepribadian anak di bentuk dari pengalaman jika pengalaman anak tersebut lebih suka menonton adegan kekerasan tak heran jika kelak anak tersebut tumbuh dengan kepribadian yang kasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline