Sebagai keniscayaan, kita adalah tempat di mana manusia saling mencintai, saling bertukar sapa, saling memandang, memerhatikan, dalam suatu ikatan; tanpa pikir panjang, kitalah satu keluarga besar dalam lingkup yang luas, berusaha memperbaiki ingatan yang membekas.
Kepada kenangan dan puing-puing adegan, kegiatan, kebersamaan yang pernah kita semayamkan; demi keberadaan dan kehadiran.
Kita berjumpa pada kemegahan, modernitas semesta beberapa tahun berselang.
Kepada harapan yang dulu diperjuangkan; kepada teman seperjuangan, sepermainan; kepada ikatan yang pernah kita ikrarkan; pendeklarasian pertemuan melalui medium keangkuhan; demi kepentingan personal dan keseakanan. Kita, dunia, bahwasanya kita sedang bersama lagi, membentuk solidaritas, loyalitas yang tinggi; namun kita hanya menjumpai sebuah ilusi.
Kita bagaikan sekumpulan binatang jalang yang telanjang di sebuah kandang. Kita merayu, kita merangkul, kita mesra, di dalam benih-benih media; angkatlah pertemanan kita; kita harapkan ungkap dalam sekat berupa komentar; dengan simbol ucapan pergaulan; bahasa keseharian, kehidupan yang mati dan terkubur dalam kesia-siaan. Apa yang kita cari? Kita terlampau dekat, namun kita merasa sangat jauh, jauh, seperti sepeda yang kita kayuh; demi jarak yang kita tempuh; meneteskan peluh dan terus menerus mengeluh.
Kita tertindas di bawah pengaruh; kita menghadap budaya populer dengan patuh. Kita bukan sedang memikirkan apa yang pernah kita impikan; kita bukan sebuah kumpulan dengan beragam cerita baru yang menyenangkan; kita berbeda dan menjengkelkan; kita hadir sebagai satu-satunya keterangan, sebagai satu kisah yang pernah kita kenangkan.
Demi masa, aku ingin kembali merasakan kenangan yang pernah tertuliskan, tanpa harus mendekam dalam bualan angan-angan. Kita adalah realitas; bukan pertemanan dan keseakanan dalam ruang-ruang khayalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H