Lihat ke Halaman Asli

Perilaku dan Konsep Konsumsi Dalam Islam

Diperbarui: 14 Februari 2019   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menurut Hananto dan Sukarto T.J., konsumsi adalah bagian dari penghasilan yang di pergunakan untuk membeli barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Albert C. Mayers mengatakan bahwa konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa yang berlangsung dan terakhir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Adapun menurut ilmu ekonomi, konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya menjaga kelangsungan hidup.

Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Kepuasan dalam terminologi konvensional dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik.

Sedangkan dalam ekonomi islam, kepuasan dikenal dengan maslahah, dengan pengertian terpenuhinya kebutuhan baik bersifat fisik maupun spiritual. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang di konsumsi adalah halal, baik secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersifat israf (royal) dan tabzir (sia-sia).

Dalam ekonomi konvensional, konsumsi diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility). Konsumsi dalam islam tidak hanya bertujuan untuk mencari kepuasan fisik, tetapi lebih mempertimbangkan aspek maslahah yang menjadi tujuan dari syariat islam (maqshid syariah). Teori maslahah lebih luas cakupannya dari pada teori utility (teori kepuasan).

Maslahah di dalam ekonomi islam, diterapkan sesuai dengan prinsip rasionalitas Muslim, bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya.

Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal adalah prinsip konsumsi yang diajarkan oleh Rasulullah SWT, sedangkan konsumsi yang berlebihan merupakan ciri khas dari masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dalam islam disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti bisa diartikan sebagai mempergunakan harta dengan cara yang salah atau tidak di pergunakan dengan semestinya, seperti menuju pada tujuan-tujuan yang terlarang atau menuju pada tujuan yang tidak di anjurkan atau di haramkan oleh Tuhan, seperti halnya penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum, atau dengan cara yang tanpa aturan dan dilarang oleh agama Islam.

Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi islam sendiri didasarkan oleh pada prinsip keadilan distribusi. Kepuasan konsumsi seorang muslim bergantung pada nilai-nilai agama yang diterapkan pada rutinitas kegiatannya, yang tercermin pada alokasi uang yang dibelanjakannya.

Dalam ekonomi islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan (peran agama Islam). Peran keimanan menjadi tolak ukur penting seorang muslim karena keimanan memberikan cara pandang dunia berbeda yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia atau seorang muslim itu sendiri. Keimanan seorang Muslim sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas konsumsi, baik dalam bentuk kepuasan materiel maupun spiritual.

Dalam ekonomi, kepuasan adalah banyaknya jumlah kesenangan yang diperoleh. Dan dengan jumlah kesenangan ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya suatu kepuasan (utility).

Tingkat kepuasan dapat digambarkan dengan kurva indiferensi. Dalam kurva tersebut biasanya yang digambarkan adalah tingkat dari kepuasan antar dua barang atau jasa, yang keduanya memang banyak disukai oleh konsumen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline