Gejolak geopolitik dunia pasca pandemi Covid 19 semakin menunjukkan ketidakstabilan. Konflik bersenjata terus meletus di mana-mana. Kawasan Eropa Timur, Asia Timur, Timur Tengah, hingga beberapa negara Afrika banyak mengalami instabilitas seperti perang kombatan, kudeta politik, konflik perbatasan, dan isu pemisahan wilayah. Di antara semua gejolak yang sedang terjadi, perang Rusia-Ukraina adalah konflik yang paling menyita banyak perhatian.
Perang Rusia-Ukraina dimulai pada Februari 2022 dan masih berlangsung hingga sekarang. Berbagai taktik dari kedua belah pihak terus diupayakan demi mempertahan kepentingannya masing-masing. Ukraina yang selama 2,5 tahun hanya bertahan di wilayahnya saja, akhirnya merubah taktik dengan menyerang balik ke wilayah Rusia (menduduki Kursk pada awal Agustus 2024). Ukraina merasa percaya diri karena negara-negara NATO terus memberi bantuan alutsista untuk memerangi Rusia.
Di sisi Rusia, dengan sejarah panjang dan pengalamannya di banyak perang telah membuat negara ini matang dalam menyusun taktik berperang. Salah satu taktiknya adalah penggunaan tentara bayaran atau Privat Military Company (PMC) untuk memerangi Ukraina. Wagner adalah grup tentara bayaran yang namanya sangat terkenal pada perang ini. Berbeda dengan tentara reguler Federasi Rusia yang berperang karena alasan nasionalisme, cinta tanah air, dan bela negara, Wagner ikut terlibat dalam perang karena alasan uang. Sebab Wagner adalah PMC binaan Kementerian Pertahanan Rusia yang bekerja atas dasar kontrak-kontrak tertentu.
Wagner tidak hanya dipakai untuk perang kombatan saja melawan Ukraina, namun jasanya juga banyak dipakai oleh beberapa negara Afrika seperti Burkina Faso. Wagner menawarkan jasa pengamanan pada pemimpin negara-negara Afrika yang ingin melepaskan diri dari hegemoni barat, terutama Prancis. Sebagai bayarannya Wagner diberi hak mengelola tambang emas atau mineral lainnya yang kemudian akan dikirim ke Rusia. Hasil tambang tersebut sangat membantu Rusia dalam menghadapi sanksi-sanksi dari negara barat. Sebuah rangkaian strategi yang cerdik oleh Rusia dalam memanfaatkan industri tentara bayaran.
Tentara bayaran berbeda dengan tentara reguler di sebuah negara. Kedudukan industri tentaran bayaran sangatlah abu-abu. Tidak ada peradilan militer, tidak ada hierarki pangkat yang jelas, dan jauh lebih bebas bergerak karena berbentuk perusahaan. Wagner hanya satu nama PMC yang dikenal karena perang Rusia-Uraina. Di luar Wagner dunia mengenal nama-nama seperti Blackwater, Triple Canopy, Erinys, dan Dyncorp sebagai PMC yang sering dikontrak negara barat, terutama Amerika Serikat.
Wagner atau PMC blok NATO lainnya adalah salah satu strategi bernegara yang modern. Jika satu negara menggunakan militer resminya untuk menyelesaikan sebuah konflik, umumnya negara tersebut akan mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Tetapi jika menggunakan jasa tentara bayaran sebagai proxy, dunia internasional yang sering diwakili oleh Amerika Serikat (secara sepihak) tidak akan punya alasan kuat untuk mengancam, sebab PMC adalah non state actors. Dengan fleksibilitas cara kerja PMC, sepertinya Indonesia perlu memakai strategi bernegara yang modern ini untuk menjadi global player ke depannya.
Sistem Pertahanan Negara Indonesia memang tidak menghendaki tentara bayaran dipakai sebagai mesin perang dalam melakukan bela negara dan menjaga kedaulatan wilayah NKRI. sebab orientasi tentara bayaran adalah bekerja untuk uang, sedangkan militer resmi Indonesia beserta komponen pendukungnya melakukan bela negara atas dasar cinta tanah air, keyakinan ideologi, dan kerelaan berkorban demi bangsa dan negara. Menggunakan tentara bayaran dinilai dapat menimbulkan masalah baru dan bahkan bisa menghilangkan kendali negara atas kekuatan militernya. Oleh sebab itu Indonesia tidak perlu menggunakan jasa tentara bayaran seperti Wagner, Blackwater, Triple Canopy, Erinys, dan Dyncorp.
Indonesia harus melakukan engineering dan pembinaan sendiri pada PMC lokal yang akan dibentuk. Pemerintah bisa memodifikasi 'genetik' PMC yang dunia kenal selama ini menjadi 'genetik' yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Kementerian Pertahanan tidak perlu membina PMC sampai sebesar Wagner atau lainnya, pemerintah cukup membina PMC dengan ukuran setara batalyon. Buat dalam jumlah puluhan dengan spesialisasi tugas tertentu, seperti perang kombatan, pengamanan VVIP, perang siber, jasa sniper, jasa sabotase jalur distribusi, perang gerilya hutan, perang amfibi, eksplorasi bawah laut, propaganda politik, dan perang urat syaraf. Puluhan batalyon PMC ini dibina lalu jasanya diekspor ke luar negeri, sehingga tidak bertentangan dengan Sistem Pertahanan Negara Indonesia.
Founder dan CEO dari PMC yang dibina harus berasal dari militer (dipensiunkan dini) dengan latar belakang intelijen dan pengalaman operasi di luar negeri. Dalam proses pembinaannya, pemerintah melakukan kompartementasi di antara semua PMC. Dengan dua hal tersebut, kemungkinan pembelotan PMC pada negara dapat diminimalisir. Sebab founder atau CEO berasal dari kalangan profesional yang nasionalis, dan terjadinya kompartementasi juga akan menutup kemungkinan beberapa batalyon PMC untuk bekerja sama melawan negara (seperti kasus Wagner 2023 lalu). Dengan begitu negara tidak akan kehilangan kendali atas kekuatan militernya.
Tugas pokok dan kegiatan utama dari PMC binaan pemerintah ini tentunya adalah menjadi 'bajingan ekonomi' di luar negeri yang bekerja untuk mendapatkan uang dan sumber daya. Namun di sisi lain, karena founder dan CEO adalah mantan abdi negara, maka pemerintah bisa memanfaatkan PMC binaannya hanya sekedar sebagai mata dan telinga, atau bahkan menjadi proxy untuk kepentingan nasional Indonesia. Dalam situasi tertentu, pemerintah juga bisa sesekali memakai jasa PMC untuk urusan domestik asal dilakukan dengan senyap sehingga publik tidak mengetahuinya.