Wadas merupakan salah satu desa yang ada di Jawa Tengah, terletak di kecamatan Bener, kabupaten Purworejo. Desa Wadas memiliki populasi penduduk sebanyak 1.445 jiwa pada 2020 lalu (sumber : Badan Pusat Statistik) yang mayoritasnya merupakan petani, kebanyakan dari mereka merawat dan memanen hasil kebun. Komoditas yang dihasilkan di antaranya cengkeh, kapulaga, kemukus, durian, cabai, kelapa, sengon, pisang, aren, petai, vanili, karet, jati, keling, akasia, mahoni dengan nilai yang cukup besar setiap panennya.
Desa Wadas menjadi salah satu daerah proyek strategis nasional pembangunan yang merupakan implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai tahap ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. Proyek ini direalisasikan salah satunya dengan pembuatan bendungan Bener. Kebutuhan pembangunan bendungan Bener memerlukan bahan material yang sangat besar ditinjau dari ukuran bendungan yang dibuat. Namun, ditengarai bahwa pengadaan bendungan Bener yang melibatkan pertambangan di desa Wadas tidak sesuai dengan
Bendungan Bener berjarak 10 km dari desa Wadas. Sejak 2018 terjadi aktivitas yang menunjang pembangunan waduk tersebut melalui proses penambangan batu andesit. Penambangan terhadap batu andesit inilah yang menjadi protes warga desa Wadas. Batu andesit merupakan salah satu bahan bangunan yang digunakan sebagai bahan urukan. BBWSOS menyebutkan bahwa material yang diambil 8,5 juta m3 dan akan dibebaskan 114 Ha lahan dari 400Ha dari desa Wadas.
Rencana tersebut merupakan rencana besar, tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa 300 warga menolak rencana ini. "Gak boleh, pokoknya jangan ambil bahan baku dari desa Wadas" tolak Ngatinah salah satu warga desa Wadas (dalam wawancara watchdoc documentary). Penolakan ini berlanjut menghasilkan demo yang dilakukan oleh Wadon Wadas, Gempa Dewa dan Kamu Dewa yang merupakan pergerakan penolakan. Selain itu, penolakan juga diekspresikan dengan spanduk dan mural di sekitar desa.
Warga desa Wadas menganggap penambangan ini dapat menyebabkan beberapa efek negatif. Daerah yang masih asri dengan hamparan pepohonan ini tentu menyimpan sumber mata air, sejumlah 27 sumber mata air sebagai sumber kehidupan warga desa Wadas. Namun, sumber mata air ini ditakutkan terkena quari pertambangan, tak hanya itu, rumah warga desa pun terkena dampak dari pertambangan sebagai upaya pembuatan bendungan Bener. Hilangnya lahan hijau sebagai sumber mata pencaharian warga berdampak pada ekonomi tentunya. Tidak hanya lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya pun turut terdampak.
Perubahan yang terjadi di desa Wadas dapat dikatakan secara permanen. Semakin besar tambang batu andesit, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkan. Eksplorasi dan eksploitasi ini menimbulkan geram di masyarakat. "Wong enak-enak jadi petani, sudah subur makmur, ada pertambangan nanti jadi kekeringan" tambah Ngatinah. Sumber mata air yang selama ini mengairi rumah-rumah warga ditakutkan akan hilang sebab daerah resapan air dan pohon-pohon yang menyerap air hujan kian lama kian menurun populasinya.
Bagaimana dampak yang ditimbulkan daripada proses penambangan ini? Tentu, alat yang digunakan baik modern maupun tradisional berdampak pada rusaknya jalan akibat mobil-mobil besar yang mengangkut bahan tambang. Mobilitas yang besar mengakibatkan polusi udara. Lahan-lahan hijau tak lagi menghijau sebab terkerok alat-alat besar. Kerusakan ini terjadi secara langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan hayatinya.
Dasar penambangan ini menurut IPL Gubernur Jawa Tengah, 23 April 2021. Pada tahun tersebut terjadi pematokan lahan dan tentu saja menuai protes yang terjadi antara polisi dan warga sekitar, bahkan beberapa warga terlibat aksi kekerasan dengan polisi. Keresahan tersebut tidak menjawab, meski mereka menghadang dan menolak tetap saja aktivitas tambang dilakukan,
Proyek strategis ini tentunya tidak bisa dihandarkan begitu saja. Pembuatan bendungan pun diharapkan turut membantu pemasokan air ke beberapa desa. Lalu bagaimana dengan tindakan yang tentu dapat merusak alam tersebut? Beberapa alternatif yang dapat dilakukan, di antaranya melakukan pendekatan dengan warga Wadas, sebab memang disampaikan oleh Ngatinah bahwasannya tidak ada informasi dengan jelas mengenai kegiatan pembuatan bendungan Bener. Infomasi lain yang ditemukan ialah warga khawatir apabila terjadi tanah longsor seperti yang terjadi pada tahun 1988 silam, sebab desa Wadas sendiri merupakan daerah rawan bencana. Apakah studi ekologi sudah dilakukan sebelum kegiatan proyek dilaksanakan ? Perlunya perencanaan dan analisis yang tepat jika memang Wadas akan tetap dilanjutkan proyek pembangunan bendungan.
Permasalahan sumber mata air dan pohon, selain bagi sumber kebutuhan manusia, hewan pun bergantung di sana. Jika pohon ditebang, maka semakin habis sumber mata air, semakin kekeringan dan berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi. Perlunya pengadaan sumber lahan hijau yang dapat menambah populasi sumber mata air, sehingga warga Wadas dapat kembali mengembangkan lingkungan alam Wadas.
Semua yang dilakukan warga hanya sebatas untuk membuat desa Wadas tetap asri, tempat mereka menaruh harapan hidup dari hasil bumi serta sumber airnya, perlu sekali lagi pemerintah melakukan observasi dan olah data yang ditemukan di desa tersebut. Perlu pendekatan dengan baik, sehingga warga Wadas tidak merasa lahan mereka dirampas semena-mena. Perlu dipikirkan kembali apakah dengan pengalihan lahan pertanian dan perkebunan menjadi daerah tambang akan mempermudah jalannya kehidupan dan kemakmuran masyarakat. Proyek ini tentu dicanangkan akan berdampak kepada beberapa desa, rencananya untuk membantu perkebunan dan pertanian, lantas jika lahan mereka saja tidak ada, lalu air akan dialihkan ke mana, tanaman akan di tanam di mana?