Lihat ke Halaman Asli

Kisah Sepasang Sepatu

Diperbarui: 7 November 2024   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peristiwa itu terjadi delapan belas tahun yang lalu.

            Umurku lima tahun saat Bapak membelikakan sebuah sepatu dari pasar Rakyat, sebuah pasar tradisional di desa. Sebelumnya, Bapak tidak pernah membelikanku barang, Ah! maksutnya menggandeng tanganku ke pasar untuk membeli barang khusus untukku. Biasanya Emak yang melakukannya. Tapi, hari itu aku senang. Bapak terlihat berbeda. Ia terus membuatku berada di sisinya, membuatku tertawa dengan berbagai cerita lucu dan menciumku berkali-kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh Bapak.

            Tangan besar dan kasar Bapak terus menggandeng tangan mungilku saat kami menelusuri jalan pasar. Sesekali rambut bergelombangku yang dibiarkan tergerai mengganggu wajah hingga terasa gatal. Sebelumnya, aku tidak tahu apa yang akan dibeli Bapak, kupikir ia akan membeli jaring untuk miyang[1] malam nanti atau keperluan lainnya. Aku tidak berani banyak bertanya kepada Bapak karena memang dari dulu Bapak jarang berbicara dan terkesan cuek, membuatku banyak menyimpan tanya yang kemudian baru kuutarakan kepada Emak. Tapi, kali ini tanyaku segera terjawab begitu Bapak berhenti di sebuah jajaran sepatu. Oh.....Bapak ingin membeli sepatu...,eh? Tapi, Bapak tidak pernah memakai sepatu.....

            "Kesukaanmu warna biru kan, Kia?", tanya Bapak tiba-tiba.

            Aku mengangguk sambil memperhatikan Bapak yang sibuk melihat-lihat sepatu. Aku berteriak girang dalam hati, berpikir bahwa Bapak akan membelikan sepatu untukku karena sebentar lagi aku akan bersekolah. Ketika Bapak mengangkat sebuah sepatu kain berwarna biru dengan garis putih berukuran besar, aku langsung merasa kecewa. Itu sepatu untuk perempuan dewasa, mana mungkin bisa dipakai oleh kaki mungilku?

            "Suka sepatu ini, Kia? Sepatu ini sangat bagus kan?", Bapak memperlihatkan sepasang sepatu kepadaku. Aku kembali mengangguk, walaupun kali ini sedikit tidak berminat. Kelihatannya Bapak tidak memperhatikanku dan sudah jatuh cinta pada sepatu itu hingga dengan cepat tanpa tawar menawar seperti yang biasa Emak lakukan, ia langsung meminta penjual di sana untuk membungkusnya dan menyerahkan beberapa lembar uang. Aku tidak tahu berapa dan tidak ingat warna apa. Yang kuingat adalah tiba-tiba kami berdua duduk di depan rumah kayu kami yang kecil, tepatnya di atas dipan yang telah digelari anyaman tikar.

            Bapak semakin aneh.

            Sambil duduk di atas tikar, Bapak mengelus rambutku dengan tangan kasarnya yang entah mengapa terasa begitu nyaman.

            "Dengar suara itu, Kia?", tanya Bapak.

Deburan ombak.....

            "Dengarlah, Bapak. Kan, setiap hari kia juga dengar", jawabku kala itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline