Ini bukan tulisan pertama dari saya maupun penulis lainnya yang membicarakan tentang anak-anak Indonesia. Pun hingga tulisan ini terbit, belum ada satu pun anak yang dikelurakan dari rahim saya. Tapi bahwa fakta anak-anak di sekitar kita tak bisa terbantahkan.
Anak-anak ini dapat berbentuk sepupu, keponakan, tetangga, anak didik, anak teman atau tetangga dekat. Meski bukan anak sendiri, saya mengenal siapa orang tuanya. Itu baru yang kenal, belum yang hanya sempat berpapasan.
Dan cita-cita kakak slash bulik satu ini rasanya sama dengan setiap orang tua. Bisa memberikan untuk mereka.
Ada banyak variabel yang bisa didebatkan untuk mencapai predikat terbaik. Dan sulit mencapai semuanya.
Tapi bagi saya, ada milestone pertama yang membuat para orang dewasa di sekitar boleh menghela napas lega. Anak bebas stunting. Sampai di sini, usaha terbaik apapun bentuknya bisa diserap lebih baik oleh tubuh dan otak anak-anak.
Tak perlu jadi orang tua untuk mulai peduli
Sungguh, mendapati anak stunting adalah patah hati yang sulit dijelaskan. Gejala paling terlihat mungkin "hanya" tinggi tubuh lebih rendah dari anak dengan usia yang sama.
Namun menurut dr. Ray Wagiu Basrowi sebagai Medical & Scientific Director Danone Indonesia, akibat stunting bisa menyia-nyiakan satu generasi bila tidak lekas dicegah ataupun ditanggulangi.
Kenapa? Karena anak dengan kondisi stunting akan mudah terserang penyakit berulang, tumbuh kembang ngga optimal, dong? Berlanjut saat usia sekolah, anak sakit akan sulit berkonsentrasi atau bahkan bergaul.
Suatu saat anak-anak ini akan besar dan mungkin jadi rekan kerja kita. Bayangkan betapa banyak energi dan biaya untuk menjadikan mereka mampu menghadapi tuntutan kerja yang semakin cepat dan banyak.
Kalau sudah begini, yakin kamu yang belum jadi orang tua kandung masih mau acuh saja?