Baliho 1: Sampoerna A Mild Go Ahead
Teori disonansi kognitif dipelopori oleh Leon Festinger pada tahun 1957 mengungkapkan bahwa pengertian disonansi kognitif adalah diskrepansi atau kesenjangan yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang kemudian menciptakan ketidaknyamanan psikologis serta memotivasi individu untuk mengurangi disonansi kognitif (Maythalia Joni & Sutarmanto, 2019). Dalam konteks komunikasi persuasif, disonansi digunakan untuk mendorong perubahan sikap atau perilaku. Baliho Sampoerna A Mild menggunakan strategi kreatif untuk menciptakan disonansi dalam pikiran audiensnya, terutama kalangan muda yang kreatif dan ingin terlihat berbeda. Pesan "Botol Bekas Bisa Jadi Gini" dengan gambar botol bekas yang diubah menjadi lampu dekoratif menyentuh dua sisi disonansi seperti, keyakinan awal bahwa botol bekas adalah sampah yang tidak bernilai, Lalu, pesan baru bahwa botol bekas bisa diubah menjadi sesuatu yang kreatif dan bernilai. Ketika audiens melihat pesan ini, mereka merasa disonansi karena selama ini mungkin menganggap botol bekas hanya sebagai limbah. Baliho ini secara tidak langsung mengarahkan audiens untuk berpikir bahwa membeli produk Go Ahead akan mendukung gaya hidup kreatif dan peduli lingkungan, sehingga mengurangi disonansi mereka.
Selain itu, penggunaan frasa "Bukan Main" memperkuat citra bahwa rokok ini bukan hanya produk konsumsi, tetapi juga bagian dari gaya hidup unik dan inovatif. Ini relevan dengan audiens utama Sampoerna A Mild, yaitu generasi muda urban yang mencari identitas melalui kreativitas. Strategi disonansi yang diterapkan mencakup konflik kognitif, yaitu audiens diajak untuk mempertanyakan keyakinan lama mereka tentang limbah (botol bekas), solusi berupa nilai-nilai Go Ahead yang menawarkan kreativitas dan keberanian berpikir berbeda serta asosiasi positif, di mana pesan secara implisit menghubungkan kreativitas dengan konsumsi produk, membuat audiens merasa bahwa memilih produk ini adalah langkah yang sesuai dengan nilai-nilai mereka.
Baliho 2: Djarum Coklat Extra Mocca
O'Keefe (2016) menjelaskan bahwa Elaboration Likelihood Model (ELM) adalah pendekatan persuasi yang dikembangkan dan dikemukakan oleh Richard E. Petty dan John Cacioppo. ELM menunjukkan bahwa variasi penting dalam sifat persuasi adalah fungsi dari kemungkinan penerima akan terlibat dalam elaborasi atau memikirkan informasi yang relevan dengan isu persuasif. ELM menawarkan perbedaan yang luas antara dua rute menuju persuasi, yaitu central route (rute sentral) dan peripheral route (rute periferal). Baliho Djarum Coklat menggunakan jalur periferal untuk menyampaikan pesannya. Fokus utama baliho adalah daya tarik visual dan emosional, dengan elemen-elemen seperti, gambar mencolok dengan warna coklat hangat dan aksen emas menciptakan kesan premium, meskipun harga yang ditawarkan cukup terjangkau (Rp 18.000). Selanjutnya, pesan singkat "Perpaduan Nikmat Kopi dan Coklat Pilihan" langsung menggambarkan kenikmatan produk tanpa perlu penjelasan mendalam dan informasi harga yang terjangkau langsung menargetkan audiens dengan keputusan pembelian cepat, tanpa perlu banyak pertimbangan logis.
Jalur periferal ini sangat efektif untuk audiens yang sudah memiliki pengalaman positif dengan merek Djarum Coklat. Mereka cenderung tidak memikirkan pesan secara mendalam, tetapi dipengaruhi oleh elemen visual dan emosi yang menyertai baliho tersebut. Faktor persuasif dalam jalur periferal mencakup kesan hedonis yang ditampilkan melalui pesan "perpaduan nikmat" yang menyentuh emosi audiens yang mencari kesenangan sederhana, visual produk yang menonjolkan kemasan untuk memperkuat daya tarik produk dan konteks sosial, di mana baliho ini menyasar konsumen dewasa (21+), terutama mereka yang menginginkan sensasi santai dari kopi dan coklat yang dikombinasikan dengan rokok. Jalur periferal bekerja dengan baik dalam iklan ini karena audiens tidak membutuhkan informasi kompleks untuk memahami pesan. Dengan kata lain, baliho ini menciptakan asosiasi sederhana antara produk dan pengalaman nikmat tanpa memaksa audiens untuk berpikir mendalam.
Perbandingan Baliho 1 dan Baliho 2
Dari segi strategi pesan, Baliho 1 menggunakan strategi yang lebih berorientasi kognitif dengan menciptakan konflik dalam pikiran audiens untuk mendorong perubahan sikap. Sementara itu, Baliho 2 lebih mengandalkan emosi dan visual untuk menciptakan asosiasi positif dengan produknya. Dari segi target audiens, Baliho 1 menargetkan generasi muda yang peduli pada gaya hidup kreatif dan inovatif, sedangkan Baliho 2 menargetkan konsumen dewasa yang mencari pengalaman sederhana namun memikat. Tingkat keterlibatan audiens pada Baliho 1 memanfaatkan jalur sentral dari ELM untuk melibatkan audiens dalam berpikir ulang tentang limbah, sedangkan Baliho 2 memanfaatkan jalur periferal dengan fokus pada kenikmatan instan yang dirasakan dari produk. Tujuan akhir Baliho 1 adalah menciptakan kesadaran baru sekaligus memperkuat citra merek sebagai simbol kreativitas, sementara Baliho 2 bertujuan meningkatkan pembelian langsung dengan daya tarik emosional dan harga kompetitif.
Daftar Pustaka
Maythalia Joni, I. D. A., & Sutarmanto, H. (2019). Disonansi Kognitif Gay Terkait Budaya Patrilineal di Bali. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 3(1), 1. https://doi.org/10.22146/gamajop.42392