Lihat ke Halaman Asli

Rizka Amalia

Mahasiswi UIN GUSDUR PEKALONGAN

Kontroversial Pengemis di Tengah Jalan

Diperbarui: 16 Desember 2022   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kontroversial Pengemis di Tengah Jalan
Oleh : Rizka Amalia (Mahasiswi KPI UIN Gusdur Pekalongan)

Sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang,  menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran sedangkan kebutuhan hidup mendesak seseorang untuk melakukan apapun demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga banyak orang memilih melakukan suatu pekerjaan yang menjadi kontroversial di lingkungan masyarakat, salah satunya ialah menjadi seorang pengemis.

Pengemis merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan cara meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menjadi seorang pengemis bukanlah pilihan setiap orang, akan tetapi keadaan yang memaksanya. Namun, ‘tak jarang seseorang menjadikan pengemis sebagai salah satu profesi yang dipilih karena mudah untuk mendapatkan uang dan tentunya lebih cepat. Sangat disayangkan, jika mengemis dijadikan salah satu profesi yang diminati oleh sebagian masyarakat  yang justru dapat menjatuhkan harkat dan martabat mereka sendiri.

Awalnya, adanya pengemis di tengah jalan dipandang sebagai suatu hal yang lumrah. Karena mereka iba, bahkan banyak pula yang memakluminya. Namun semakin ke sini, jumlahnya semakin banyak. Maraknya perkembangan profesi pengemis menimbulkan keresahan bagi pengguna jalan, khususnya di kota-kota besar yang tentunya mengganggu kegiatan lalu lintas di jalanan yang menimbulkan kontroversial di lingkungan masyarakat.

Profesi sebagai pengemis jalanan semakin digemari oleh beberapa orang. Pasalnya, mereka berpikir jika mengemis ialah hal yang mudah dilakukan dan bisa mengasilkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Dikutip dari kompas.com pada 6 Juni 2022, beredar berita seorang pengemis di kota, namun ternyata ia adalah orang kaya di desanya. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pengemis itu menjadi bahan pembicaraan warganet di sosial media setelah dua buku tabungan yang bernominal ratusan juta rupiah itu tersebar. Setelahnya, pengemis tersebut kembali pulang ke desanya dan memulai untuk berwirausaha di toko dan berjanji untuk tidak mengemis lagi.

Untuk mengurangi keresahan masyarakat, Pemerintah telah mengatur Undang-undang tentang Penggelandangan  pada pasal 429 RKUHP yang berbunyi : “Setiap orang yang bergelandangan di jalan ataupun di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan paling banyak kategori I.”

Mengenai suatu kategori denda yang harus dibayarkan, ada pada pasal 79 ayat 1, RKUHP membagi 8 kategori. Jumlah denda yang harus dibayarkan itu mulai dari Rp. 1 Juta sampau Rp. 50 Milliar. Untuk kategori I,  sejumlah  Rp. 1 Juta.

Para pengemis yang berada di tengah jalan, mungkin sudah tahu mengenai hukum dan pasal tersebut. Namun, mereka tetap masih melakukannya dikarenakan banyaknya kebutuhan dan keadaan yang mendesak sehingga mendorong mereka untuk tetap pada kegiatan tersebut.  Dan ketika ada patroli dari beberapa pihak berwajib, mereka memilih untuk lari dan kabur untuk menyelamatkan diri agar tidak tertangkap dan tidak membayar denda yang ada. Dan esok harinya, mereka tetap melakukan kegiatan yang sama.

Terbitnya undang-undang penggelandangan nyatanya tidak mampu menyurutkan perkembangan pengemis setiap tahunnya, bukannya semakin berkurang akan tetapi terus bertambah. Hampir di setiap perempatan jalan, persimpangan lampu merah, bahkan di tengah jalan  pun  banyak pengemis bertebaran. Hal itu membuat resah bagi pengguna jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline