Lihat ke Halaman Asli

Rizki Badilla

Mahasiswa

Apoteker Dalam Urgensi Swamedikasi

Diperbarui: 8 Januari 2025   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Komponen penting dalam kehidupan adalah kesehatan. Kesehatan yang baik akan menjamin kehidupan kedepannya. Munculnya kesadaran baik upaya dan perilaku seorang individu terhadap gangguan kesehatan terkadang dengan menemui dokter atau dengan melakukan tindakan pengobatan secara mandiri atau lebih dikenal dengan swamedikasi.

Swamedikasi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengobatan oleh diri sendiri, dimana dalam menentukan dan menggunakan obat obatan tertentu terhadap suatu gejala atau penyakit yang tanpa adanya resep dokter dan diberikan langsung oleh apoteker tanpa persetujuan dokter dengan kaidah pengobatan yang sesuai, serta aman bila digunakan. Swamedikasi bertujuan untuk meningkatkan kesehatan melalui pengobatan sakit ringan atau pengobatan rutin suatu penyakit setelah dilakukan perawatan dokter.

Pengobatan Swamedikasi ini merupakan suatu tindakan yang sering kali dijumpai baik tepat sebelum pengobatan di rumah sakit dengan seorang dokter. Tak jarang orang yang melakukan pengobatan sendiri ini ketika mengalami demam, nyeri, diare, maag, dan lain sebagainya. Swamedikasi dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat jika pengobatan yang dilakukan benar tiap seorang individunya, sebab jika tidak dapat berdampak negatif pada kesehatan. Dikutip pada laman BPS (Badan Pusat Statistik) di Indonesia persentase penduduk yang mengobati sendiri selama sebulan terakhir sebesar 78.95%. Serta pada tahun 2023 menurut BPS (Badan Pusat Statistik) dalam lamanya menunjukkan persentase sebesar 79.74%. persentase tersebut dapat menunjukkan bahwa seberapa besar/tingginya masyarakat Indonesia yang melakukan swamedikasi dan jika tidak ada urgensi yang tepat dalam penanganan swamedikasi akan sangat berdampak bagi masyarakat itu sendiri.

Tingginya kuantitas terhadap swamedikasi di Indonesia dapat menjadi tantangan dalam kesehatan masyarakat, misalnya seperti dosis penggunaan yang berlebih, efek samping obat hingga penyalahgunaan obat. Seperti halnya pula dengan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, walau pada dasarnya antibiotik tidak di jual secara umum. Dikutip dari laman University of Oxford, resistensi terhadap antibiotik menyebabkan setidaknya satu juta kematian setiap tahun sejak 1990, dengan meningkatnya tingkat infeksi yang resisten terhadap obat yang diperkirakan akan merenggut lebih dari 39 juta jiwa antara sekarang dan 2050 tanpa tindakan kebijakan lebih lanjut, menurut sebuah studi penting oleh Global Research on Antimicrobial Resistance (GRAM) Project. Pada dasarnya resistensi antibiotik ini pula dapat terjadi akibat kurangnya kesadaran penuh akan bahaya antibiotik jika dikonsumsi tanpa resep dokter dan juga bila tidak menghabiskan sisa antibiotik sesuai jangka waktu yang ditetapkan sesuai resep dokter, masih banyak masyarakat yang berhenti di pertengahan penggunaan antibiotik sesaat mereka sudah merasa baik-baik saja.

Tidak hanya itu, perilaku swamedikasi yang tidak tepat akan menimbulkan permasalahan kesehatan akibat interaksi obat yang tidak seharusnya. Drug-drug interactions merupakan suatu reaksi yang muncul akibat interaksi antar dua atau lebih obat yang dapat terjadi antara obat yang diresepkan dengan obat yang tidak diresepkan (dijual bebas). Salah satu contoh kasus interaksi obat yang membahayakan adalah interaksi antara obat paracetamol bersamaan dengan obat TBC.

Hal-hal tersebut jelas dapat terjadi jika tidak adanya pemahaman yang tepat akan swamedikasi. Penting bagi setiap elemen masyarakat mengetahui betul akan penggunaan obat yang tepat sesuai kaidah penggunaanya, sebab obat adalah salah satu bentuk penyembuhan namun juga dapat menjadi kehancuran bagi tubuh jika tidak sesuai penggunaan yang tepat.

Dalam hal ini selain dokter yang memiliki peran penting dalam pengobatan pasien ada pula seorang apoteker yang memiliki peran krusial. Masyarakat yang sebagian besar pada dasarnya jika sakit tidak langsung menemui dokter karena dianggap hanya hal sepele yang dapat bisa disembuhkan dengan membeli obat sesuai gejala awal mengharuskan peran apoteker dalam menghadapi permasalahan tersebut. Apoteker tentu harus kompeten dalam memberikan edukasi tidak hanya pada pasien saja namun kepada masyarakat. Apoteker dapat melakukan langkah awal saat pasien hendak membeli suatu obat bebas ataupun bebas terbatas dengan mengidentifikasi keluhan pasien serta memberikan saran dan rekomendasi pengobatan yang sesuai termasuk bila dirasa untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan seorang dokter. Hal-hal sederhana dengan mengedukasi terkait fungsi obat, dosis, jangka waktu, efek samping serta interaksi antar obat-obatan baik yang sedang dikonsumsi pasien, yang mana walaupun hal tersebut dapat tertera pada kemasan obat namun urgensi tersebut perlu dilakukan pada setiap elemen apoteker ketika pasien hendak membeli obat. Tenaga kefarmasian tentu memiliki peran andil yang tinggi dalam penanganan masalah swamedikasi di Indonesia, sebab melalui perilaku ini dapat berkontribusi dalam upaya menjaga kesehatan di Indonesia. Dengan upaya yang tepat pasien pun akan terdampak positif baik dalam kondisi financial dalam pengeluaran hal yang tidak diperlukan, pasien akan terhindar dari masalah interaksi obat yang berbahaya serta tidak menimbulkan kondisi masalah kesehatan baru. Dan dari dampak positif tersebut dapat terlihat pula harus adanya upaya penting akan kesadaran pemahaman tepat swamedikasi dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline