Lihat ke Halaman Asli

Kilahku dalam Jalan Pulang

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asap rokok membuana. Berseteru dengan desakan badan penuh keringat. Derum bus tua ini semakin mempercepat lajunya. Entah dipaksa entah berusaha. Bus ini berdecit setiap kenop rem menempel sol karet. Aku berusaha berkedip. Namun sepertinya udara menerbangkan debu-debu yang jatuh tepat sebelum kelopak menutup sempurna. Sesering mungkin kutengok jalanan penuh dengan makhluk yang serupa. Ada biru merah dan putih tulang. Kesemuanya beradu dalam kilah asap knalpot. Berdempetan dengan rentetan panjang mengantri. “Hari ini aku pulang!”. Entah sudah berkilah ratusan kali dalam hati. Tapi tetap saja kesan bahagianya tak mampu terwujud sempurna.

Ingin rasanya kumenerbangkan diri. Mungkin juga penumpang dalam bus ini merasakan hal yang sama. Wajah gelisah penuh kekesalan yang aku lihat dari raut muka mereka. Sepertinya mereka setuju. Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Sebuah hiburan yang menemani perjalananku di sini. Entah berapa tahun lagi jalan ini akan kosong, tergantikan arus transportasi canggih buatan masa depan. Berseteru dengan ahli-ahli teknologi, sastra hanya menyumbang iklan aku kira. “Huh, macet sekali!”, aku berkilah lagi. Aku berusaha menenangkan diri dengan memejamkan mata. Dan berulang kali tersungkur dalam jendela bus ini. Tapi decitan demi decitan berburu membangunkan.

Dari bus, aku mengenal banyak pekerjaan. Dalam pengejaran jam kuliah pagi, aku mengenal beberapa pekerjaan pagi buta. Pedagang sayur yang kebanyakan wanita tua, kuli angkut pasar, atau guru-guru interlokal yang berebut perbincangan dengan murid-muridnya. Sesekali kulihat pegawai kantoran dan karyawan pabrik yang lebih suka mengahabiskan pagi dalam perjalanan. Tak bisa menghalang rindu keluarga, kurasa. Dan begitu banyak cetoleh kernet dengan supir yang membuatku menganggukkan kepala. Di kepala menyimpulkan, “ada perbaikan jalan! Sabarlah!”

Jika pekerjaan pagi banyak dari mereka yang bermuka semangat, giliran sore hari raut wajah mereka berubah menjadi wajah yang penuh kelelahan. Di dahi dan punggung mereka mengalir deras keringat hasil kerja mereka. Seperti sore ini, sang kernet ikut andil dengan menaikkan harga kursi bus per orang. Skenario yang sangat bagus.

Dalam penghujung barat terlihat mentari yang siap berkemas. Memasukkan beberapa akar sinarnya dalam-dalam di ufuk barat. Tak terlihat dan akhirnya tenggelam. Seperti berjalannya waktu, ringkikan bus terbayar dengan keluarnya desakan penumpang yang siap untuk mengadu di peraduan Maghrib Sang Khalik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline