Lihat ke Halaman Asli

Pertanian Indonesia Dalam Pusaran Korporatokrasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Bukan lautan hanya kolam susu… katanya
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu
Kail dan jala cukup menghidupmu… katanya
Tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak Negara
Tiada badai tiada topan kau temui… katanya
Ikan dan udang menghampiri dirimu… katanya
Tapi kata kakek, awas ada udang di balik batu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman… katanya
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk surganya sendiri.
Puisi diatas dikutipdari film “Tanah Surga… Katanya” yang dibacakan oleh Salman salah satu murid terpintar di sebuah sekolah terpencil di Kalimantan Barat saat menyambut orang atasan Negara. Pembacaan puisi dalam film tersebut sontak membuat sang pejabat tidak lagi nyaman berada dalam  lokasi tersebut dan menyegerakan diri untuk pergi.
Tanah kita memang tanah surga. Kekayaan alam yang berlimpah sudah menjadi warisan titipan Tuhan yang sangat berharga bagi negeri kita. Tiada yang memungkiri akan kekayaan alam tersebut. Sudah seharusnya titipan kekayaan alam ini membawa kesejahteraan yang berlimpah bagi rakyat Indonesia. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Telah menjadi catatan sejarah bahwa Negara-negara penjajah yang menduduki Indonesia berpuluh-puluh tahun untuk menikmati kekayaan alam kita. Dengan melakukan berbagai tindakan kekuasaan, kekerasan dan pemerasan mereka menjajah negeri kita dengan tindakan yang nyata. Dan 67 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia tetap dijajah namun dalam bentuk yang berbeda.
Kekayaan alam kita telah dikuasai oleh sebagian kecil pihak-pihak yang memiliki kuasa (korporasi) ke dalam pemerintahan. Mereka mengelola tanah Indonesia namun kesejahteraan belum berpihak bagi keseluruhan rakyat Indonesia terkhusus para petani Indonesia. Oleh karenanya, mari bersama bereaksi dan berjuang melawan kejahatan-kejahatan korporatokrasi.
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran.
Pihak korporasi dan birokrasi dengan alasan ingin meningkatkan perekonomian khususnya pertanian Indonesia, tetapi pada faktanya ialah menggerogoti pertanian kita. Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih,sampai sekarang belum ada satu pun kasus dengan masuknya korporasi, petani menjadi sejahtera. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agribisnis dalam perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena tanahnya diambil alih oleh perusahaan. Konflik tanah banyak terjadi di perkebunan sawit. Sementara itu, rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena harganya meningkat. Perusahaan semakin senang dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan. Inilah model permainan yang dilakukan oleh para korporasi.
Menurut Salikin (2003), salah satu dosa’ besar pembangunan pertanian industrial adalah standarisasi yang merupakan penyeragaman yang menyesatkan. Standarisasi memang dipuji sebagai faktor krusial untuk meraih produktivitas dan efisiensi ekonomi. Standarisasi dilakukan oleh para pengusaha agribisnis untuk mendapatkan produk pertanian yang seragam sesuai dengan selera dan tuntutan pasar. Para pengusaha pertanian di dunia ini boleh dikatakan memiliki pola pikir yang seragam, yaitu bagaimana menggunakan bibit unggul yang sama, dosis pupuk dan obat-obatan yang sama, serta mesin-mesin yang sama. Tanaman dan hewan pun diatur supaya tumbuh dan berkembang secara seragam sehingga memudahkan pemanenan, pengemasan dan pengangkutan sampai ke outlet supermarket-supermarket di kota-kota besar. Akibatnya, para petani menjadi sangat ketergantungan akan input pertanian.
Pada penggunaan bibit unggul untuk mencapai standarisasi, pihak korporasi memberikan benih hibrida dengan varietas yang selalu diperbarui. Varietas ini hanya responsif bila pemakaian input (misalnya pupuk NPK, pestisida dan ketersediaan air) dalam kondisi yang sempurna, sehingga mampu berproduksi lebih tinggi dari benih varietas lokal (tradisional). Menurut Goering (1993), pihak korporasi menciptakan ketergantungan petani untuk selalu membeli benih buatan pabrik setiap musim tanam. Beginilah model penguasaan korporasi dengan menciptakan ketergantungan pada petani hingga akhirnya mereka sangat leluasa mengeksploitasi pertanian dan petani kita menjadi total konsumen.
Sekarang ini, jumlah dan jenis sumberdaya benih, pupuk dan alat mesin pertanian selalu meningkat serta terkonsentrasi pada industri-industri pertanian yang menguasai pangsa pasar dunia; karena adanya upaya-upaya monopoli terselubung dengan berkedok hak paten dan persaingan dagang untuk terus mengembangkan benih-benih unggul. Industri pertanian raksasa berkelas dunia (misalnya Shell, ICI, Ciba, Geigy, ITT, Unilever, Bayer, Monsanto, dan Dupont) selalu berkompetisi menghasilkan benih-benih varietas unggul untuk dipasarkan kepada petani-petani miskin di negara-negara berkembang. Ini merupakan bentuk kapitalisme ekonomi dengan memanfaatkan kecanggihan.
Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi jelas terlihat pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta, Juni 2011 lalu, Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula 20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca 20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi multinasional seperti Nastle, Monsanto, Unilever, dan Danone. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan. Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Perancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca-Cola (AS), HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Phillip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk pangan lokal. Kecap dan Saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki HJ Heinz, seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca-Cola. Alih-alih mendongkrak produksi pangan, menekan emisi gas rumah kaca, dan kemiskinan, mengadopsi ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam  dan manusia Indonesia, khususnya petani. Pemerintah Indonesia selalu berpihak kepada korporasi-korporasi besar yang menjanjikan keuntungan pribadi ketimbang mensejahterakan rakyatnya.
Jika kita kaitkan dengan fungsi BULOG yang dulunya menangani 9 komoditi pertanian, tapi sekarang hanya 1 komoditi yaitu beras, bahwa ternyata cukup jelas tentang keberpihakan pemerintah pada pihak korporasi, dimana pemerintah hanya menangani 1 komoditi yang pada akhirnya pihak korporasilah yang akan berkuasa dan memonopoli komoditi lainnya.
Baru-baru ini terjadi kasus tentang pelaporan Indonesia oleh AS dan Australia ke WTO atas tindakan Indonesia yang melakukan stop impor pada produk hortikultura, buah dan daging yang dinilai melanggar aturan perdagangan global. Indonesia resmi mejadi anggota WTO melalui ratifikasi UU No.7 tahun 1994 tentang Ratifikasi pembentukan WTO. WTO adalah organisasi yang mengatur perdagangan dunia dengan menuntut Negara-negara anggotanya untuk membuka pasar seluas-luasnya bagi perdagangan internasional melalui penghapusan berbagai hambatan dalam perdagangan baik dalam bentuk tariff maupun non-tarif. Terutama dalam pemaksaan membuka keran impor, pasal-pasal dalam WTO (dan juga perjanjian perdagangan bebas, FTA) jelas menggerus kedaulatan pangan kita. Pasar dan harga domestik hancur.
Belum lagi pada kebijakan pertanian yang dibuat pemerintah masih pro pada korporasi. Contohnya: UU Agraria mulai dibuat tahun1960 sampai sekarang belum direformasi, hal ini jelas supaya pihak korporasi tetap leluasa menguasai pertanahan masyarakat. Demikian halnya dengan RUU pangan. RUU ini merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan memiliki banyak kelemahan dan bahaya. RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan. Hal itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada swasta untuk mengimpor pangan. Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan. Ironisnya, Indonesia sebenarnya bisa memproduksi sendiri bahan pangan tersebut akan tetapi sekali lagi pemerintah lebih memilih impor, yang menunjukkan keberpihakan pemerintah pada korporasi-korporasi besar yang menjanjikan keuntungan pribadi daripada mensejahterakan rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline