Indonesia sedang mengalami berbagai krisis. Krisis yang paling utama terjadi di negara ini adalah krisis pengetahuan atau intelektual. Meskipun dana pendidikan sudah besar, IQ nasional kita hanya tinggal 78, 49, skor IQ yang hampir sebanding dengan simpanse. Buku yang kurang banyak dan berkualitas menyebabkan minimnya literasi di negara ini, di mana, menurut UNESCO literasi di Indonesia hanya 0,001%, yang artinya dari seribu orang hanya ada satu orang yang suka membaca. Meskipun negara ini melimpah sumber daya alamnya, tetapi kurang kompetennya sumber daya manusia yang mengakibatkan sumber daya alam kita banyak dicuri oleh pihak asing dan merugikan negara kita sendiri. Dana investasi buat sektor pendidikan yang teramat besar, namun sayang tidak memberikan hasil yang sesuai harapan. Berbagai keberhasilan yang dicapai oleh negara ini, telah tercemar oleh data yang menyebutkan bahwa negara ini adalah salah satu negara dengan sistem pendidikan paling buruk di dunia.
Pendidikan yang seharusnya berorientasi pada perubahan anak yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak kompeten menjadi kompeten, hanya sekedar menjadi halusinasi belaka. Rendahnya kesejahteraan para pendidik menyebabkan kualitas mereka dalam mengajar menjadi buruk, dan terkesan membosankan. Kurikulum merdeka yang digagas untuk memerdekakan para guru dan siswa, ternyata hanya sekedar formalitas belaka. Fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa kurikulum merdeka tak punya pengaruh yang signifikan terhadap kemajuan pendidikan kita. Kami sebagai pelajar masih saja dipaksa belajar hal-hal yang tak berguna, tak disukai dan bahkan useless dalam kehidupan nyata. Bagaimana mungkin? Kami sebagai siswa yang berbeda satu sama lain, lalu disamakan dalam semuanya, sungguh ironi namun inilah fakta yang terjadi.
Sekolah, yang harusnya menjadi tempat buat mencerdaskan kehidupan bangsa, hanya menjadi ladang subur korupsi bagi para oknum kepala sekolah yang tidak memiliki akuntabilitas. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat memperoleh kebijaksanaan, tetapi ternyata hanya menjadi tempat perdagangan nilai palsu, dan kursi kelas antara oknum kepala sekolah dan para murid yang baru masuk. Banyak guru kami tidak tahu mengajar, tidak mencontohkan hal yang baik kepada kami, dan bahkan guru kami hanya memikirkan kenaikan gaji tanpa peduli pada kami sebagai anak didiknya. Nilai-nilai hasil rekayasa para guru yang gila hormat tetapi menuntut gaji lebih, seakan tak merasa malu mendapatkan gaji lebih tetapi kualitas dirinya sangat kurang dalam menjadi seorang pendidik bangsa. Nilai-nilai dalam rapor hanyalah rekayasa, dan formalitas belaka yang tidak bisa merepresentasikan kemampuan murid dalam belajar.
Sampai kapan wajah pendidikan kita akan terus begini? Wajah pendidikan yang gila hormat, korupsi, dan nilai hasil rekayasa, apakah itu adalah wajah pendidikan yang kita inginkan? Pastinya kita tidak mau wajah pendidikan kita seperti itu! Maka, inilah saatnya untuk melakukan perubahan signifikan yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini, agar tidak malu dengan negara lain yang berada disekitarnya. Apakah wajah pendidikan yang terus bertahan pada kemunafikan, formalitas, dan menjadi tempat bermain-main para oknum kepala sekolah dan oknum guru yang gila hormat bukan main, tetapi selalu mau gaji yang besar tetapi kualitas mereka sangat buruk dalam menjadi pendidik bangsa ini. Kapankah ini akan berubah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H