Lihat ke Halaman Asli

Rizal Mutaqin

Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Wawancara Imajiner dengan Bung Hatta

Diperbarui: 11 Oktober 2024   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Pustaka Bung Hatta

Di sebuah ruangan sederhana yang dikelilingi buku-buku dan aroma kopi yang menghangatkan, saya duduk menanti sosok yang telah lama mengukir namanya dalam sejarah bangsa. Di hadapan saya, seorang pria berperawakan kecil, mengenakan jas hitam yang rapi, adalah Bung Hatta---Bapak Koperasi dan Proklamator Republik Indonesia. Meski waktu seakan berhenti, perbincangan ini akan mengajak kami melintasi sejarah.

"Bung, jika boleh tahu, apa yang terlintas di pikiran Anda saat merumuskan Proklamasi kemerdekaan?" saya mulai, penasaran. Bung Hatta tersenyum, matanya berbinar. "Saat itu, saya merasakan beban yang sangat berat. Kami tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan, tetapi juga untuk masa depan bangsa," jawabnya dengan suara tenang, menekankan pentingnya tanggung jawab yang diembannya.

Dia kemudian melanjutkan, "Kemerdekaan adalah hadiah dari perjuangan rakyat, bukan sekadar hasil perundingan. Saya ingin agar bangsa ini berdiri dengan kepala tegak, merdeka dari penjajahan, dan berdaulat atas nasibnya sendiri." Suaranya mengandung semangat yang membara, seolah menyalakan kembali api perjuangan dalam hati saya.

Saya pun menanyakan, "Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi saat itu?" Bung Hatta menghela napas. "Tantangan terbesar adalah mempersatukan berbagai elemen bangsa yang beragam. Ada yang ingin merdeka dengan cara damai, ada yang lebih memilih perjuangan bersenjata. Namun, saya percaya dialog dan kerjasama adalah kunci untuk mencapai tujuan bersama," ungkapnya sambil mengedipkan mata.

Mendengar pandangan Bung Hatta, saya bertanya tentang pandangannya mengenai koperasi. "Bung, mengapa Anda sangat mendorong pengembangan koperasi di Indonesia?" Dengan antusiasme, ia menjelaskan, "Koperasi adalah jalan untuk membangun kemandirian ekonomi. Saya ingin rakyat memiliki kendali atas ekonomi mereka sendiri, bukan bergantung pada kekuatan besar yang akan mengeksploitasi mereka."

Ketika saya menanyakan tentang harapannya untuk generasi muda, wajahnya terlihat serius. "Saya berharap generasi muda Indonesia bisa mewarisi semangat gotong royong dan cinta tanah air. Jangan pernah lupakan sejarah dan perjuangan pendahulu kita. Mereka telah berkorban untuk kebebasan yang kita nikmati sekarang," katanya dengan penuh harap.

Dialog berlanjut ke isu modern. "Bung, bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan teknologi dan dampaknya bagi bangsa?" Ia memandang jauh ke luar jendela, seolah melihat masa depan. "Teknologi adalah alat yang bisa memberdayakan, tetapi juga bisa menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan. Penting bagi kita untuk menggunakan teknologi dengan bijaksana," jawabnya tegas.

Menjelang akhir wawancara, saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Apa pesan terakhir Anda untuk kami, Bung?" Dengan lembut, ia berkata, "Jadilah pemimpin bagi diri sendiri dan orang lain. Jangan hanya memperjuangkan kepentingan pribadi, tetapi pikirkanlah kesejahteraan bersama. Itulah esensi dari kemerdekaan yang sesungguhnya."

Saat perbincangan kami berakhir, Bung Hatta memberikan senyum hangat dan melambaikan tangan. Seolah membawa saya kembali ke kenyataan, saya menyadari bahwa dialog imajinatif ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang menginspirasi langkah ke depan. Dalam hati, saya berjanji untuk menjaga semangat perjuangan Bung Hatta dan meneruskan cita-cita luhur untuk Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline