Malam itu, setelah menjalankan ibadah salat Isya, aku duduk termenung di teras rumah. Langit tampak tenang, penuh bintang, tapi di dalam hati, badai tengah berkecamuk. Fitnah yang beredar tentang diriku tak kunjung berhenti. Rasanya seperti seluruh dunia sedang menuduh dan menghakimi tanpa tahu kebenaran. "Mbah," panggilku pelan dalam hati, berharap mendapatkan petunjuk dari ulama besar yang kerap aku jadikan panutan, KH. Maimun Zubair. Tak lama kemudian, seolah angin malam membawa pesan dari beliau, sosoknya yang penuh wibawa muncul dalam imajinasiku.
"Mbah, hati saya resah," ucapku lirih, menatap bayangan imajiner beliau yang penuh kelembutan. "Ketenteraman saya terganggu oleh fitnah yang tidak bertanggung jawab. Saya merasa seperti dihimpit dari semua sisi, tidak ada jalan keluar."
Mbah Maimun tersenyum bijak, lalu menatapku dengan sorot mata yang meneduhkan. "Anakku," katanya dengan suara yang lembut namun tegas, "fitnah itu ibarat angin. Ia bisa datang dari mana saja, namun kita tak perlu melawannya dengan tangan. Cukup teguh pada pijakan kita, dan angin itu akan berlalu dengan sendirinya. Kesabaranmu adalah tameng terkuatmu."
"Tapi Mbah," aku terdiam sejenak, menahan isak yang hampir keluar, "sulit rasanya bersabar saat nama baik saya dipermainkan, harga diri saya diinjak-injak. Orang-orang yang tak mengenal saya, percaya begitu saja pada kabar yang tidak benar."
Mbah Maimun menghela napas panjang. "Kau harus ingat, anakku, Nabi Muhammad pun sering difitnah, bahkan oleh orang-orang terdekatnya. Namun apa yang beliau lakukan? Beliau tetap berbuat baik, tetap menjaga akhlak, dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Fitnah tidak bisa menghancurkan dirimu, kecuali jika kau membiarkannya menguasai hatimu."
Aku terdiam mendengar nasihat itu. Sejenak, aku merasa seolah seluruh beban di pundakku sedikit terangkat. "Lalu, Mbah, apa yang harus saya lakukan agar fitnah ini tidak terus menghantui pikiran saya?"
"Sederhana, nak. Maafkanlah mereka yang memfitnahmu, meski itu sulit. Maafkan bukan karena mereka layak, tapi karena hatimu perlu ketenangan. Dan doakan mereka agar diberi hidayah, agar mereka tak lagi berbuat zalim kepada orang lain."
Mendengar itu, dadaku serasa sedikit lapang. Tapi masih ada keraguan yang tersisa. "Mbah, apakah mereka tidak akan mendapat balasan atas apa yang mereka lakukan?"
Mbah Maimun tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Tugasmu bukanlah untuk menghakimi, nak. Serahkan segala urusan balasan kepada Allah. Tugasmu hanyalah berbuat baik, menjaga hati, dan bersabar. Allah Maha Adil, setiap perbuatan pasti ada balasannya, tapi itu bukan urusanmu. Ujian ini, bisa jadi, adalah cara Allah untuk meninggikan derajatmu di sisi-Nya."
Aku terdiam, mencerna setiap kata beliau. Dalam hati, aku mulai merasakan kedamaian yang pelan-pelan kembali. Fitnah itu mungkin belum hilang, tapi kini aku tahu bagaimana menghadapinya. Aku harus belajar memaafkan dan menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H