Aku duduk di ruang tamu, sendirian dengan segelas teh yang mulai mendingin. Pikiranku bergelayut dalam kerumitan persoalan keluarga yang tak kunjung usai. Tiba-tiba, seolah ada kehadiran yang hangat dan damai di sekitarku. Aku menutup mata, dan dalam keheningan itu, sosok Gus Dur muncul di benakku---senyumannya khas, penuh kebijaksanaan. "Assalamu'alaikum, Gus," sapaku dalam hati.
"Wa'alaikumsalam," jawab Gus Dur dengan suara lembut yang hampir terasa nyata. Aku merasa terhibur oleh kehadirannya, walau hanya imajiner. "Ada apa, Nak? Apa yang mengganggumu?"
Aku menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. "Gus, bagaimana jika ibu kandung saya memusuhi saya karena provokasi dari saudara kandung? Rasanya sangat menyakitkan, Gus. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa."
Gus Dur tersenyum kecil, seolah sudah memahami inti masalahku tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. "Kamu tahu, Nak, manusia itu sering kali terjebak dalam permainan emosi dan ego. Ibu kamu mungkin tidak sadar bahwa dia sedang terprovokasi. Tapi ingat, seorang ibu tidak pernah sepenuhnya membenci anaknya. Cinta seorang ibu, bagaimanapun, akan selalu ada di dasar hatinya."
"Tapi Gus," lanjutku, "Bagaimana saya bisa bersabar ketika saya diperlakukan seperti ini? Saya merasa dijauhkan, diasingkan, seolah-olah saya bukan bagian dari keluarga lagi."
Gus Dur tertawa pelan, dan suaranya penuh kelembutan. "Sabar itu bukan tentang menunggu semuanya berubah sesuai kehendakmu, tapi bagaimana kamu bertahan dan tetap kuat meskipun semua orang di sekitarmu tidak seperti yang kamu harapkan. Ibu kamu mungkin sedang terjebak dalam kebingungan, dan tugasmu adalah menunjukkan ketenangan, bukannya ikut terbawa emosi."
Aku terdiam sejenak, merenungkan ucapannya. "Tapi bagaimana kalau ibu saya tetap tidak bisa mengerti, Gus?"
"Kamu hanya perlu melakukan yang terbaik," jawab Gus Dur dengan bijak. "Kebenaran tidak selalu harus dipaksakan. Kadang-kadang, diam adalah cara terbaik untuk berbicara. Tunjukkan kasih sayang tanpa banyak bicara. Waktu yang akan menyembuhkan."
Aku mengangguk, meskipun aku tahu Gus Dur tak bisa melihatnya. Namun dalam hatiku, kata-katanya sudah mulai meredakan keresahanku. "Terima kasih, Gus. Saya akan mencoba bersabar dan terus menunjukkan kasih sayang, walau rasanya sulit."
Gus Dur tersenyum hangat, dan sebelum kehadirannya memudar dari imajinasiku, dia berkata pelan, "Ingat, Nak, hidup ini bukan tentang menang atau kalah. Hidup ini tentang bagaimana kamu menjaga hati tetap damai, meski badai datang menghampiri."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H