Dua tahun yang lalu, aku tengah sibuk di kantorku, Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), ketika sebuah pesan singkat muncul di layar ponselku. Itu dari kawan lamaku, Usep, atau lebih dikenal dengan nama lengkapnya, Bagus Septianto. Kami adalah sahabat sejak kuliah di Teknik Informatika, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Malang). Dalam pesan itu, dia memberitahuku bahwa dia sedang dalam perjalanan ke Jakarta, dan akan mampir ke kantorku. Sudah lama kami tak bertemu, dan kabar ini membuatku tak sabar.
Beberapa jam kemudian, Usep tiba di depan gedung. Bersamanya, ada seseorang yang ia kenalkan sebagai sepupunya, yang ternyata tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur, tempat di mana Usep menetap setelah lulus kuliah. Melihatnya di sana, berdiri dengan senyuman khasnya yang selalu penuh semangat, membuat kenangan masa kuliah seketika mengalir dalam benakku. Kami berjabat tangan erat, menandakan kerinduan yang telah lama tak terbalas.
"Sudah lama ya, Sep!" seruku, memulai percakapan. Dia mengangguk, dan dengan cepat, kami mulai berbincang tentang segala hal---pekerjaan, keluarga, hingga kehidupan setelah kuliah. Sepupunya lebih banyak mendengarkan, tetapi sesekali menyelipkan lelucon yang membuat suasana makin hangat. Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat, padahal baru saja rasanya kami duduk.
Setelah beberapa saat, kami berkeliling di sekitar Mabesad. Usep tampak takjub dengan lingkungan kerja yang aku ceritakan sebelumnya. "Keren juga ya, bisa kerja di sini," katanya dengan nada setengah bercanda. Aku hanya tertawa. "Ya, begitulah. Tapi tetap saja, kerja adalah kerja. Kadang bikin kangen masa kuliah," jawabku.
Percakapan kami kemudian beralih ke nostalgia, mengingat momen-momen lucu saat di UIN Malang. Kami pernah menghabiskan malam-malam di laboratorium komputer, berjuang menyelesaikan tugas coding yang sering kali baru selesai menjelang pagi. Usep, meskipun cerdas, selalu menjadi sumber hiburan di tengah kepenatan dengan guyonan-guyonannya. "Ingat nggak, waktu kita hampir gagal nyelesaikan proyek akhir karena servernya crash?" tanyanya sambil terkekeh. Tentu aku ingat, dan kami tertawa bersama.
Sepupu Usep, meski awalnya pendiam, mulai ikut tertawa dan bercerita tentang kehidupannya di Sidoarjo. "Kalau di kampung, pekerjaan seputar IT nggak sekompleks di sini, tapi tetap ada tantangan sendiri," ujarnya. Aku mengangguk, memahami bahwa setiap tempat memang punya kesulitannya masing-masing.
Waktu terus berlalu, dan tanpa terasa sore menjelang. Sebelum pamit, Usep memberikanku sebuah hadiah kecil---sebuah kaos dengan logo alumni UIN Malang. "Biar selalu ingat masa-masa kita dulu," katanya. Aku tersenyum lebar, merasa tersentuh dengan gesturnya.
Pertemuan singkat itu berakhir, tetapi meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Meskipun kami sekarang menjalani hidup di jalan yang berbeda, persahabatan kami tetap kuat, terikat oleh kenangan dan kebersamaan di masa lalu. Sesekali aku memandangi kaos itu di lemariku, mengingat bahwa persahabatan sejati tak akan pernah pudar, meskipun waktu terus berlalu.
Sepulangnya mereka, aku merasa beruntung bisa bertemu lagi dengan sahabat lama. "Sampai jumpa lagi, kawan," gumamku dalam hati, berharap pertemuan berikutnya tak perlu menunggu dua tahun lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H