Di sebuah taman sunyi yang dikelilingi pepohonan rindang, aku duduk termenung di bangku tua. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah basah setelah hujan. Aku memandang ke langit yang mendung, merasa seluruh dunia tertekan di pundakku. Lelah, capek, rasanya hidup berjalan begitu lambat namun tak pernah berhenti menyodorkan beban. "Bung," lirihku, seakan bicara pada sosok yang telah lama pergi. "Aku lelah, aku capek."
Tiba-tiba, seolah berasal dari tempat yang jauh, sebuah suara bergema di pikiranku. Suara yang tidak asing. “Anak muda, apa yang membuatmu begitu lelah?” Ternyata suara itu datang dari Bung Karno. Tak terlihat, namun kurasakan kehadirannya begitu nyata. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap melihat sosok sang Proklamator yang selalu kubayangkan gagah dan tegas.
“Bung... aku lelah dengan segala ketidakpastian. Aku capek melihat bangsa ini seolah berjalan di tempat. Apa yang kita perjuangkan dulu kini terasa tak lagi nyata,” jawabku, suaraku lirih, penuh keluhan. Bung Karno tertawa kecil, tapi penuh makna. "Anak muda, perjuangan tak pernah selesai hanya karena kemerdekaan telah kita capai. Justru setelah merdeka, bangsa ini harus terus berjuang untuk menjaga dan mewujudkan cita-cita kita."
Aku diam sejenak, mencerna perkataannya. “Tapi, Bung, kita sudah merdeka lebih dari tujuh puluh tahun. Mengapa masih terasa berat? Mengapa rasanya seperti kita tak beranjak ke mana-mana?” tanyaku, berharap mendapatkan jawaban yang akan meredakan kegelisahan hatiku.
Bung Karno menjawab dengan nada yang serius, “Anak muda, jangan pernah melihat perjuangan hanya dari hasil. Perjuangan adalah proses yang tak ada hentinya. Kita merdeka bukan untuk menjadi bangsa yang santai, tapi untuk menjadi bangsa yang bekerja keras, yang berdikari, yang berdaulat di atas kaki sendiri.” Kalimat-kalimatnya menghantam batinku, membuatku sadar bahwa aku terjebak dalam ilusi instan, mengharapkan segalanya berubah dengan cepat.
“Tapi Bung, aku capek... Hidup di masa kini penuh dengan kebisingan, tekanan, dan masalah yang tiada habisnya. Kadang aku merasa, apa yang kami lakukan tak ada gunanya,” kataku, mulai terbawa emosi. Bung Karno terdiam sesaat, sebelum akhirnya berkata dengan tenang, “Kau tahu, anak muda, aku pun sering merasa lelah. Setiap pemimpin besar, setiap pejuang, pasti pernah merasa letih. Tapi ingatlah, lelah itu manusiawi. Yang membuat kita besar bukan karena kita tidak pernah lelah, tapi karena kita tidak pernah berhenti.”
Mendengar itu, hatiku tersentak. Aku menundukkan kepala, memikirkan kata-katanya. “Jadi, meskipun lelah, aku harus terus berjuang?” tanyaku ragu. Bung Karno menjawab tegas, “Ya, karena yang namanya bangsa besar adalah bangsa yang tak berhenti berjuang meskipun banyak halangan. Capek itu wajar, tapi jangan pernah biarkan rasa lelahmu mengalahkan cita-cita besar kita.”
Aku mengangguk perlahan. Rasa capek yang tadi membelenggu mulai sirna, digantikan dengan semangat baru. Bung Karno memang benar, perjuangan tak pernah berhenti. Rasa lelah hanyalah bagian dari perjalanan, bukan alasan untuk menyerah. Tepat saat aku ingin menjawabnya lagi, suara Bung Karno menghilang, lenyap seperti angin yang berhembus pergi.
Aku bangkit dari bangku tua itu, menatap langit yang kini mulai cerah. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi mengeluh tentang lelah. Perjuangan ini adalah milikku, seperti perjuangan Bung Karno dan para pahlawan terdahulu. Meskipun capek, aku tahu, jalan yang kutempuh adalah jalan yang benar.
Dan di bawah langit biru itu, aku melangkah maju, dengan semangat yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H