Lihat ke Halaman Asli

Rizal Mutaqin

Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Petrus Diaktifkan Kembali di Era Digital, Efektifkah?

Diperbarui: 3 Oktober 2024   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: pojoksatu.id

Kebijakan penembakan misterius atau Petrus yang diterapkan di era Orde Baru merupakan salah satu bentuk penegakan hukum yang kontroversial. Saat itu, kebijakan ini dianggap sebagai langkah untuk menekan tingkat kriminalitas yang tinggi, terutama di kota-kota besar. Namun, jika kebijakan serupa diaktifkan kembali pada era digital saat ini, efektivitasnya patut dipertanyakan. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa sekarang kita hidup dalam dunia yang sangat berbeda dari masa Orde Baru, terutama dalam hal teknologi dan komunikasi.

Di era digital, masyarakat sangat terhubung melalui media sosial dan platform komunikasi lainnya. Informasi dapat tersebar dengan sangat cepat, bahkan sebelum ada verifikasi yang tepat. Jika kebijakan keras seperti Petrus diterapkan kembali, akan ada banyak risiko bahwa narasi-narasi negatif dan keliru akan beredar luas di media sosial. Mereka yang mencari keuntungan pribadi, terutama para content creator yang tidak bertanggung jawab, bisa dengan mudah memanfaatkan situasi ini. Mereka dapat menyebarkan informasi yang belum tentu akurat atau bahkan memutarbalikkan fakta demi meningkatkan popularitas konten mereka.

Fenomena budak konten, yakni orang-orang yang rela melakukan apa saja demi viral, semakin merajalela di dunia maya. Mereka sering kali tidak peduli pada dampak sosial atau etika dalam menyajikan konten mereka. Dalam konteks kebijakan seperti Petrus, hal ini bisa menjadi bumerang. Alih-alih menimbulkan rasa aman, kebijakan keras tersebut justru bisa memicu ketakutan massal yang dibesar-besarkan oleh narasi yang viral. Keadaan ini akan jauh lebih sulit dikendalikan karena sifat media sosial yang sangat cair dan cepat berubah.

Di sisi lain, masyarakat saat ini juga lebih kritis dan memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi. Jika ada kejadian-kejadian yang dianggap tidak adil atau melanggar hak asasi manusia, respons publik bisa sangat besar dan cepat. Di masa lalu, kontrol atas media memungkinkan pemerintah untuk mengendalikan informasi yang beredar. Namun, sekarang, masyarakat dapat memantau, mendokumentasikan, dan menyebarkan setiap peristiwa yang mereka anggap penting atau tidak adil melalui ponsel pintar mereka. Kebijakan keras seperti Petrus dapat dengan cepat menjadi subjek kontroversi dan protes luas.

Selain itu, kebijakan yang berorientasi pada kekerasan fisik di zaman sekarang tidak hanya menimbulkan risiko pada citra pemerintah, tetapi juga memperkuat budaya kekerasan di masyarakat. Dalam konteks digital, kekerasan sering kali tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga secara verbal melalui ancaman dan ujaran kebencian di media sosial. Pengaktifan kembali Petrus berpotensi memperkuat sikap dan perilaku agresif ini di masyarakat.

Di dunia digital, solusi untuk mengatasi kejahatan juga harus berevolusi. Penegakan hukum harus lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan teknologi, misalnya dengan memperkuat keamanan siber, melacak jejak digital para pelaku kriminal, atau menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mendeteksi ancaman sebelum terjadi. Cara-cara tradisional yang berbasis kekerasan seperti Petrus tidak lagi relevan dan cenderung malah menciptakan lebih banyak masalah daripada menyelesaikannya.

Tidak dapat dipungkiri, di era sekarang, orang sering kali "asal posting" demi viralitas. Mereka tidak peduli apakah informasi yang mereka bagikan benar atau salah, selama itu dapat menarik perhatian banyak orang. Hal ini semakin memperjelas bahwa pengaktifan kembali kebijakan seperti Petrus hanya akan menjadi bahan bakar bagi konten viral yang tidak bertanggung jawab, menciptakan lebih banyak kebingungan, ketakutan, dan ketidakstabilan.

Pada akhirnya, pendekatan represif dalam penegakan hukum di era digital cenderung tidak efektif. Perlu ada keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Pemerintah dan aparat keamanan harus lebih bijaksana dalam merespons tantangan di era digital ini, dengan memperkuat strategi penegakan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jika tidak, kebijakan seperti Petrus hanya akan membawa dampak negatif yang jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Di era keterbukaan informasi, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara sangat penting. Penegakan hukum yang transparan, adil, dan bertanggung jawab adalah cara terbaik untuk menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline