Di bawah teriknya matahari Kota Surabaya, akhir Januari lalu, saya melihat sejumlah ibu-ibu rumahtangga terlihat sibuk bukan kepalang. Ada yang sibuk mencatat. Ada pula yang sibuk menghitung lembar demi lembar uang rupiah. Kegiatan ini kerap dilakukan setiap sore menjelang.
Mereka sebenarnya, bukan sedang arisan. Juga bukan pula sedang saweran. Ibu-ibu ini tak lain dan tak bukan adalah petugas teller alias pencatat simpanan dana nasabah. Setiap uang yang masuk, mereka mencatatnya sebagai simpanan lengkap dengan buku tabungan, layaknya sebuah bank komersil.
[caption id="attachment_161049" align="alignleft" width="300" caption="para teller bank tolak miskin..."]
[/caption]
Ya...di sinilah, tepatnya di Jalan Semarang 55, Surabaya, ibu-ibu ini, yang mayoritas pedagang buku bekas eks gusuran jalan raya, sedang mengelola sebuah lembaga keuangan swadaya berbasis kerakyatan. Namanya, Bank Tolak Miskin. Mayoritas nasabahnya adalah para pedagang buku yang tergabung dalam Serikat Pedagang Kaki Lima Bubutan atau SPKLB Surabaya.
Di bank tolak miskin ini, semua pedagang buku diwajibkan untuk menabung setiap harinya. Uang sebesar Rp 10.000,- wajib masuk dalam daftar debit buku tabungan masing-masing pedagang. Tekadnya ingin mandiri untuk bertahan hidup, itulah yang melatar belakangi dibentuk bank simpan pinjam ini. Tujuannya untuk mensejahterakan para pedagang buku pasca gusuran 2008.
Dipicu rasa prihatin atas jeratan bunga renterir jalanan, Bank Tolak Miskin didirikan untuk mengakomodir permodalan para pedagang buku. “Kami tak ingin mereka (pedagang buku, red) menjadi miskin dan tak punya simpanan apa-apa hanya gara-gara bank titil (maksudnya rentenir dalam bahasa Jawa),” tegas Wardhani, pengelola Bank Tolak Miskin Kampoeng Ilmu Surabaya.
[caption id="attachment_161060" align="alignright" width="300" caption="buku tabungan Bank Tolak Miskin, perbankan ekonomi kerakyatan..."]
[/caption] Sistem yang digunakan adalah kepercayaan. Pedagang yang butuh uang, hanya datang ke bank tolak miskin ini. Karena berbentuk bank, maka ada sistem bunga yang diberlakukan. Bunga untuk setiap pinjaman hanya Rp 1000,- per dua pekan. Cukup meringankan…
Bayangkan, berapa bunga yang harus dibayar pedagang buku bila harus meminjam ke bank komersil ataupun ke renterir? Sistem simpan pinjam inilah yang sangat bermanfaat dan berguna bagi puluhan pedagang buku ini.
Pendanaan bank ini bersumber dari urunan para pedagang setiap harinya. Saat ini sudah terkumpul uang di bank tolak miskin sebesar Rp 183 juta. Semua itu akan digunakan untuk menopang perputaran ekonomi para pedagang. Khususnya, untuk permodalan perdagangan buku.
Dari pedagang dikembalikan pula untuk keperluan pedagang. Diharapkan, dengan adanya Bank Tolak Miskin ini, para pedagang buku sudah tidak lagi dipusingkan dengan urusan beli-membeli buku ke penerbit, dan ujung-ujungnya ketersediaan buku di Surabaya dan Jawa Timur dapat selalu terpenuhi.
Kampoeng Ilmu, Oase Ilmu Pengetahuan
[caption id="attachment_161050" align="aligncenter" width="300" caption="Kampoeng Ilmu Surabaya, Oase pengetahuan dan pendidikan murah meriah..."] [/caption] Semuanya itu, berkat upaya keras tiada henti Paguyuan Kampoeng Ilmu, sebuah areal khusus buku-buku murah. Di atas lahan 2500 meter persegi ini, berdirilah puluhan toko kecil pedagang buku eks gusuran jalan raya tahun 2008 silam. [caption id="attachment_161051" align="alignleft" width="300" caption="Pedagang eks gusuran jalan raya"]
[/caption]
Terletak di Jalan Semarang 55, Surabaya, Kampoeng Ilmu yang dikenal dengan sebutan surganya ilmu, merupakan tempat kumpulan para penjual buku bekas yang menawarkan berbagai macam buku dengan harga yang sangat murah.
Semua buku lengkap ada di sini. Dari buku pelajaran SD hingga Perkuliahan dijual murah di sini. Tidak hanya buku, tersedia juga majalah, novel, komik, kamus, buku agama, buku asing hingga majalah import bekas dari tahun ke tahun semuanya bisa ditemukan di sini. “Di sini semua buku lengkap dengan harga murah,” ujar Umar Faruq, pedagang buku yang meneruskan usaha ayahnya puluhan tahun silam.
Alkisah, sejak tahun 1970-an, di pinggir jalan raya sepanjang stasiun Pasar Turi, Surabaya, terdapat puluhan pedagang buku bekas yang terkenal dengan harganya yang sangat murah. Tapi,awal 2008, mereka digusur lantaran dianggap menjadi biang kemacetan dan merusak pemandangan kota. Oleh Pemkot Surabaya, para pedagang ini ’dibersihkan’ dari jalanan. Lapak dan gerobak mereka diangkut. Yang tersisa hanyalah buku dan nasib kehidupan para pedagangnya.
Ironis, dan miris...Tak kuat menanggung hidup, puluhan pedagang buku bekas yang tergabung dalam Serikat Pedagang Kaki Lima Bubutan, Surabaya, menuntut untuk direlokasi. Tepat 8 April 2008, Kampoeng Ilmu didirikan untuk menampung eks pedagang buku pinggir jalan. ”Kami ingin para pedagang ini tetap berjualan tanpa harus was-was untuk digusur. Mereka sudah berpuluh-puluh tahun, turun temurun. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang akan meneruskan jualan buku-buku murah di Surabaya,” tandas Budi Santoso, Koordinator Kampoeng Ilmu penuh semangat.
Sekitar 84 pedagang buku bekas menjajakan buku-bukunya di lahan seluas 2500 meter persegi ini. Dulu tempat ini adalah tempat pembuangan sampah. Baunya tak sedap dan tak terurus. Berkat sikap pantang menyerah dan semangat yang tinggi, dengan dibantu warga dan berbagai pihak, para pedagang bergotong royong meremajakan kawasan ini menjadi kawasan yang memiliki daya tarik.
[caption id="attachment_161053" align="aligncenter" width="300" caption="Kampoeng Ilmu surganya para pemburu buku murah..."]
[/caption] Kini tempat ini disulap menjadi laksana oase yang mampu menghilangkan kehausan akan ilmu pengetahuan. “Alhamdulillah, sejak pindah ke Kampoeng Ilmu sini, tiga tahun omzet penjualan buku meningkat. Rata-rata Rp 3 juta per-bulan. Kalau tahun ajaran baru, kita bisa dapat 8 jutaan,” ujar Endang Susilowati yang diamini Umar Faruq. [caption id="attachment_161055" align="aligncenter" width="300" caption="Buku-buku yang dijual di Kampoeng Ilmu..."]
[/caption] [caption id="attachment_161061" align="aligncenter" width="300" caption="buku-buku import juga dijual di Kampoeng Ilmu..."]
[/caption]
Sedikit demi sedikit Kampoeng Ilmu mulai banyak pengunjung. Di perkirakan saat ini ada 400 orang pengunjung per hari. Tiga tahun sudah Kampoeng Ilmu berdiri. Bermanfaat dan berguna bagi pedagang dan pemburu buku-buku murah. Tekad untuk bertahan hidup yang ditunjukkan para pedagang Kampoeng Ilmu ini, memberikan secerca harapan…
[caption id="attachment_161056" align="aligncenter" width="300" caption="Budi Santoso dan Yuska Harimurti, sang punggawa Kampoeng Ilmu..."]
[/caption] Sikap tak ingin terpuruk akibat gusuran, bertekad mandiri dan berdikari, tidak tergantung pada bunga bank ataupun rentenir, bangkit dengan rasa kebersamaan, Kampoeng Ilmu telah menggeliatkan sendi perekonomian para pedagang eks gusuran jalan Semarang.
Tak jauh dari stasiun kereta api, dari jalanan para pedagang buku eks gusuran Satpol PP, bertahan hidup dengan Menolak Miskin...Salam. (rizaldo, karpetmerah 140212)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H