Lihat ke Halaman Asli

Hanya Manusia

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika dipikir dengan akal sehat, tentu usiaku sekarang tidak lagi belia. Hanya kulit keriput kecoklatan dan bau tanah saja yang membalut tulang keropos yang kekurangan kalsium ini. Aku memulai hari ini dengan mengeluh di depan teras rumah, sambil berpegangan erat pada kursi kayu yang sama tuanya dengan diriku ini. “Bu, kopi bapak mana?”, tak lama berselang seorang wanita yang seusia denganku hadir dengan langkah kaki terseok dikarenakan rematik yang terlalu cinta dengan lututnya. “Ini pak kopinya, maaf lama”. Sarinah merupakan nama wanita yang mengantar kopi, entah sudah berapa ratus pagi terlewati dengan kegiatan yang sama, duduk di kursi kayu dan meminum kopi di pagi hari selayaknya ibadah wajib di subuh hari, tanpa kopi maka tidak ada hari. Hal itulah yang aku pikirkan hingga akhirnya semua suka cita pagi nan gemilang hilang dengan kepergian Sarinah yang sudah terlebih dahulu tertidur dipangkuan bumi. Tak ada lagi kopi yang disediakannya, dengan 2 sendok kopi hitam cap gorilla dan tanpa gula yang dulu selalu disajikan kepadaku. Rumah reot ini pun pada akhirnya akan sirna juga, sesuai dengan keputusan anak-anakku yang sudah bekerja semua di kota. Entah karena ada angin apa, Sulaiman anak tertuaku datang kerumah setelah lebih 1 bulan kepergian Sarinah. “Bapak sekarang tinggal dirumah saya saja pak, jangan tinggal disini lagi pak gak baik, bapak sudah tua”, yah aku sangat paham sekali apa yang dimaksud Sulaiman tidak ada Sarinah lagi dan hanya tinggal sendirian dirumah tua ini sungguh tidak akan menyenangkan sama sekali. Nampaknya ide ini harus disetujui bagaimanapun juga, belum selesai aku berpikir, Ida menantuku yang merupakan istri Sulaiman sudah selesai mengepakan beberapa baju usang kedalam koper kecil warna coklat kotak-kotak itu. “Baju bapak sudah didalam koper, jadi sekarang tinggal ditempat kami saja” aku hanya bisa mengangguk pelan dan menuju mobil warna silver keluaran terbaru yang diparkir depan rumah, dengan gontai dan berat hati kukunci rumah yang telah melindungiku selama 60 tahun lebih usia pernikahan kami.

Disepanjang perjalanan menuju ke rumah Sulaiman di kota aku lebih banyak diam dan sesekali memegangi balsem dan mengoleskannya ke kepala, tidak enak sekali menaiki mobil rupanya, atau hanya karena jarang menaiki mobil dan tidak terbiasa saja. Anakku nampak berbicara sedikit kepada istrinya dan Ida hanya menjawab iya, bukan dan selebihnya Cuma terdengar berbisik-bisik saja ditelingaku. Situasi seperti ini sangat tidak aku sukai, tapi bagaimanapun juga Sulaiman sudah berbaik hati mau merawatku dihari yang tua ini. Setelah menempuh perjalanan 5 jam sampai juga di rumah anakku ini, bisa dikatakan besar dan nyaman. Aku merasa akan nyaman sekali berada di rumah ini, di tambah halamannya yang bisa dikatakan lumayan besar sangat pas untuk duduk disana. Mobil sudah di parkirkan dan aku keluar, dari pintu rumah aku dengar teriakan seorang anak kecil. “Kakek datang!!!” lantas aku melihat Ani cucuku satu-satunya berlarian menghampiriku, bocah usia 6 tahun ini nampak senang sekali melihatku datang. Aku pasang posisi jongkok dengan kedua tangan terkembang lebar hendak menyambut cucuku ini, nyaris sedikit lagi sampai dipelukan Ani keburu digendong oleh ibunya dan lantas segera masuk, koper yang sedari tadi dipegang olehnya berpindah tangan ke Sulaiman. Mungkin nanti saja aku berpelukan dengan cucuku itu, gemas sekali melihatnya. “Ayo pak masuk, sudah malam gak baik untuk kesehatan bapak” “Iya man, sini bapak bantuin bawa koper” “Gak usah pak” dan Sulaiman pun berlalu begitu saja menuju pintu rumah dan menungguku masuk. Setelah masuk kedalam rumah yang bagus ini, aku berpikir dimanakah aku akan tidur, harapan terbesarku bisa tidur bersama dengan cucuku itu, tapi nampaknya Ida tidak menyetujui ideku ini, dan Sulaiman membawaku masuk kedalam rumah atau lebih tepatnya kebelakang rumah, terdapat rumah kecil yang terpisah dan disanalah aku tinggal. Selama disini kerjaanku hanyalah duduk dihalaman dan mengawasi Ani bermain. Terkadang aku hanya bisa berdiam diri dikamar yang bisa dikatakan besar ini, tapi aku hanya sendiri, Sulaiman sibuk bekerja hingga larut malam. Ida selalu pergi bersama teman-temannya sedangkan Ani ditinggalkan bersama Baby Sitter. Untuk menghilangkan bosan aku mengajak Ani berjalan-jalan keluar rumah, nampaknya Ani semangat sekali ketika mau di ajak jalan, melihat kesibukan orang tuanya tidak heran Ani terkadang merasa kesepian. Aku putuskan untuk berkeliling kompleks perumahan ini, di sela-sela perjalanan aku menanyai cucuku ini “Ani, sudah besar mau jadi apa?” “Jadi astronot aja kek” “Hem kenapa pengen jadi astronot?” Ani nampaknya terdiam “Ani pengen keluar angkasa dan ketemu alien dan berteman dengan mereka kek”. Aku hanya tertawa kecil mendengar celotehannya, tapi suasana tidak mengenakan datang ketika Ani berbicara “Juga biar Ani gak ketemu sama papa mama kek” “Loh kenapa? Kan itu papa dan mamanya Ani loh”. “Habisnya, papa pergi terus, mama sering bermain dengan om Helman. Ani gak ada teman bermain”. Om Helman, siapa itu? Aku coba mengalihkan pembicaraan “Kan ada Bik Ayu yang nemenin Ani kan?” “Tapi kan Bik Ayu bukan mama, Ani ingin main sama mama, papa juga”.

Selanjutnya hanya keheningan yang ada hingga aku pulang lagi kerumah, dan nampak Ida yang gelisah mondar-mandir dicepan rumah, sembari sesekali memarahi Bik Ayu. Ida selanjutnya menyadari kedatangan kami, dan lantas mendekap Ani, “Bapak kalau bawa Ani, ngomong dulu jangan main pergi aja pak, kalau Ani kenapa-kenapa kami yang susah, bukan bapak”, aku hanya terkaget-kaget mendengar perkataan Ida, menantuku sendiri. Ida lantas masuk kerumah disusul dengan Bik Ayu, aku menyusul dibelakang dan langsung menuju rumah di belakang. Pikiranku tidak tenang, setelah mendengar celotehan Ani tadi, nampaknya besok harus aku cari tahu sendiri siapa itu Helman dan apa hubungannya dengan Ida, dan malampun berlalu dengan suana tidak enak. Pada keesokan harinya seperti biasa jam 6 pagi Sulaiman sudah berangkat kerja, Ida dan Ani nampaknya masih tertidur. Aku putuskan untuk menjalani kebiasanku dipagi hari, yaitu duduk dihalaman tanpa kopi. Setelah agak siang, aku masuk dan mandi. Menjelang pukul 9 Ida nampaknya pergi bersama teman-temannya entah kemana dan Ani sedang makan disuapi oleh Bik Ayu di ruang tengah sambil menonton acara kartun kesayangannya. Sekitar pukul setengah dua siang, sayup-sayup terdengar suara tertawa kecil Ida dan terdengar suara lain, kali ini aku penasaran. Arah suara berasal dari kamar Ida dan Sulaiman, tumben sekali Sulaiman pulang cepat. Aku langsung saja menuju kamar Ida, pintu kamar yang tidak tertutup rapat memudahkanku untuk langsung masuk kedalam kamar dan kulihat Ida sedang berpelukan dengan pria lain yang bukan anakku. “Astaga Ida!!! Apa-apaan ini, mengajak pria lain kekamar kamu” “ah..bapak” Ida nampaknya kaget bukan main, “Bapak ini jangan kurang ajar yah masuk sembarangan kekamar orang” pria itu memarahiku. “Kamu itu istri orang Ida, keluarkan pria ini dari kamar, jangan sampai Sulaiman melihat ini!!!” mendengar kata Sulaiman kusebut, Ida semakin kalap “Bapak saja yang pergi dari rumah ini kalau tidak mau melihat”. Lantas kutinggalkan kamar mereka dengan membanting pintu, kemarahanku memuncak, harus aku laporkan ke Sulaiman tentang kelakuan istrinya ini. Malam menjelang suara mobil Sulaiman terdengar dari kamarku, lantas bergegas aku menuju kedepan, namun aku melihat Ida nampak berbicara dengan Sulaiman dengan menangis, berarti dia mengakui kesalahannya kupikir, namun ternyata tidak. Sulaiman datang menghampiriku “Bapak ini jangan kurang ajar pak!” “Kurang ajar bagaimana man, apa salah bapak?” “Ida sudah cerita semua, kalau bapak ngomong yang bukan-bukan ke Ida, iya kan pak?!” “Lah Ida sendiri kok yang ngajak pria lain ke kamar, bapak gak salah man” “Pak!!! Kurang baik apa Sulaiman ke bapak hingga bapak fitnah Ida kayak gini pak”. Fitnah, aku hanya terdiam sendiri mendengar itu, tapi inilah kenyataan yang aku dengar dari Sulaiman, “Coba bapak bayangin, Ida mau pulang ke rumah orang tuanya sekarang, saya mau bilang apa pak keorang tuanya Ida?! Bapak saya sendiri memfitnah Ida selingkuh dengan pria lain”. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini, kubiarkan Sulaiman berbicara sekena hatinya, aku hanya mengangguk dan mengamini apa yang iya katakan, tak berguna lagi menentangnya karena bagaimanapun juga Ida lebih ia percayai daripada bapaknya sendiri. Malam itu berakhir dengan tegang, aku kembali kekamarku. Duh ibu, anakmu sudah melawan bapaknya sendiri. Darah daging kita sendiri aku gak betah disini. Saya mau pulang, dan sudahkuputuskan untuk pergi malam itu juga dari rumah ini.

Kubuka pagar dengan perlahan, sambil membawa koper coklat berisikan baju usang aku berjalan dalam diam. Bagaimanapun caranya aku harus pulang kerumah lamaku, sakit hati dibuat oleh anak sendiri merupakan pukulan terhebat seumur hidupku belum lagi tuduhannya, kalau tahu akan jadi begini tidak akan aku restu pernikahan mereka dahulu. Terlintas dibenakku Sasmito dan Ratri, dua anakku yang lain, mereka tak terdengar lagi kabarnya setelah keduanya sepakat menjadi TKI ke Hongkong, apakah mereka baik-baik saja? Setelah berjalan agak lama, aku menjumpai seorang pemuda yang menawarkan jasa pengantaran. Karena kupikir tidak mungkin lagi aku berjalan kaki, aku juga membawa uang lebih “tolong antarkan ke terminal bus”, yang ada dipikiranku saat ini semoga masih ada bus yang menuju ke desa tempat tinggalku yang tersisa, aku agak ragu akan hal itu karena hari sudah malam sekali dan doalah yang terus kupanjatkan agar bus itu ada. Setelah melewati jalan yang berbelok-belok lantas motor ini masuk ke sekitar daerah persawahan dan mogok, “Duh, kek sebentar yah motor saya mogok” “Oh iya gak apa-apa”. Kami berhenti dan aku turun dari motor sembari melihat ke sekeliling dan ketika aku melihat kembali ternyata tokang ojek itu telah menyiapkan kunci reparasi motor yang besar dan tengah terayun kearahku, hitam tiba-tiba dan yang terdengar ialah suara motor yang beranjak pergi. Kepalaku sakit luar biasa dan aku tergeletak di jalan sendirian, aku merasakan adanya cairan yang keluar dari kepalaku yang sakit terhantam kunci reparasi motor. Duh ibu, begini lah nasib suamimu ini, anakmu sudah menyakiti hatiku dan aku tergeletak tak berdaya disini sendirian menahan rasa sakit, aku sudah tidak sanggup bu, aku hanya manusia biasa buk, tidak bisa kutahan rasa sakit ini terlalu lama. Aku hanya manusia biasa yang sudah jompo dan berbau tanah ini dan hanya manusia lah yang membuatku terluka seperti ini. Mataku sudah tidak dapat kubuka lagi dan terdengar sayup suara Sarinah, “Pak…ikut saya saja pak” kujawab dengan lemah “Kemana?” “Pergi…supaya hilang sakit bapak..” “Iya Nah, ayo pergi” dan kemudian aku melhat Sarinah berbalut kain putih dan memegangi tanganku dan membawaku ketempat yang hangat dan nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline