Baru-baru ini, beberapa media online memberitakan suatu kabar mengejutkan yang mengatakan bahwa beberapa tenaga medis Rumah Sakit GL Tobing, Deliserdang, Sumatera Utara di PHK secara sepihak oleh Pemprovsu, serta diusir dari hotel tempat mereka menginap. Alasannya, Pemprovsu dianggap tidak mampu membayar biaya penginapan para tenaga medis, lalu para tenaga medis tersebut melakukan mogok kerja dan berujung pada pemberhentian secara sepihak. Benar-benar narasi yang cukup provokatif bukan? Namun sayangnya, informasi yang masih bersifat "dugaan" itu dikemas tanpa meminta konfirmasi langsung kepada pihak Pemprovsu yang menjadi "tertuduh" dalam pemberitaan tersebut.
Lantaran sudah menjadi polemik dimana-mana, tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Provinsi Sumatera Utara (Sumut) melalui juru bicaranya, Whiko Irwan akhirnya angkat bicara. Pihaknya menegaskan, bahwa informasi pemberhentian atau PHK dan pengusiran para tenaga medis di RS GL Tobing Tanjungmorawa, Deliserdang di tempat mereka menginap, ternyata tidak benar alias hoaks.
"Kemarin kita mendapat berita yang kurang benar, bahwa mereka (tenaga kesehatan) di PHK dan sebagainya. Perlu diluruskan di sini, bahwa petugas kesehatan yang mengawaki Rumah Sakit (RS) GL Tobing sebagai rujukan Covid-19, dibentuk dalam tim satgas kesehatan yang telah ditunjuk Pemprov Sumut," ujar Whiko memberikan keterangan pers di Media Centre GTPP Covid-19 Sumut, Kantor Gubernur Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Minggu (3/5).
Whiko meluruskan bahwa tim medis di RS GL Tobing dibagi oleh dua tim. Ada jadwal dan batas waktu yang diberikan selama masa penanganan di RS, mengingat resiko yang tinggi para tenaga medis yang berhadapan langsung dengan pasien Covid-19. Jadi, untuk meminimalisir penularan, tim pertama yang sebelumnya bertugas diharuskan melaksanakan isolasi maupun karantina. Sementara tim pertama menjalani karantina, petugas tim kedua lah yang kemudian turun menangani pasien Covid-19.
"Bahwa jadwal bertugas mereka terdiri dari dua pekan, untuk bekerja (operasional) di RS rujukan. Selanjutnya melaksanakan karantina (mandiri) dua pekan. Sepekan di antaranya mengarantinakan diri di penginapan (hotel)," jelasnya.
Jadi Whiko menjelaskan, bahwa tidak benar bahwa para tenaga medis di PHK sepihak ataupun tidak digaji. Apalagi para tenaga medis yang tergabung dalam tim kesehatan RS rujukan Covid-19 di RS GL Tobing ini memiliki SK Gubernur yang secara otomatis terikat kepada pemerintah.
Masalah mengenai penginapan dan tuduhan bahwa Pemprovsu tidak sanggup membayar penginapan juga ternyata terdapat beberapa kekeliruan. Terkait opsi agar para tenaga medis tinggal sekamar berdua di kamar hotel yang sempat ditolak oleh tenaga medis yang mungkin salah paham, sudah diluruskan oleh Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, dr. Alwi Mujahit Hasibuan. Pilihan itu didasari pada membengkaknya pembiayaan hotel yang tidak sesuai dengan budget yang sudah direncanakan. Terdapat kesenjangan pembiayaan penginapan para tenaga medis di RS GL Tobing dibandingkan dengan RS rujukan Covid-19 lainnya di Sumut.
"Dua minggu pertama Rp400-an juta, dua minggu terakhir Rp500-an juta. Hampir satu miliar, untuk hotel saja di luar transportasi dan gaji," ujar Alwi.
Sementara biaya penginapan tenaga medis yang bertugas di RS Martha Friska hanya Rp 400 juta untuk satu bulan. Oleh karena ini menyangkut uang negara yang besar pertanggung jawabannya, jadi wajar saja jika Pemprovsu memutuskan untuk memilih opsi tersebut guna menghindari bengkaknya pembiayaan yang dikhawatirkan akan menjadi masalah hukum di kemudian harinya.
Masalah ini kemudian akhirnya bisa dipahami oleh para tenaga medis di RS GL Tobing dan mereka bekerja kembali seperti biasa. Mengenai gaji dan tunjangan, pihak Pemprovsu juga secepatnya akan mencairkannya dalam waktu dekat.
Inilah memang perlunya menyaring informasi dari dua sisi, ketika kita mendapatkan informasi sepihak dari satu sisi, perlu memang kita mencari informasi pembanding dari sisi yang berbeda, khususnya pihak yang berkaitan langsung dengan masalah tersebut. Dalam dunia jurnalistik, ini disebut dengan cover both side, namun sayangnya, pemberitaan terkait ini yang sempat heboh di media online dan sosial, agaknya kurang memperhatikan aspek tersebut.