Lihat ke Halaman Asli

Rizal Maulana

Pemimpi dari sudut desa

Reposisi HMI, Merumuskan Alternatif; Kritik Subtantif Atas Watak Globalisasi

Diperbarui: 9 November 2015   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia dalam Arus Globalisasi

Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, kita hidup dalam suasana keterbukaan informasi apa yang terjadi dibelahan dunia lain begitu cepat dapat kita ketahui disini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu melampui batas-batas bernegara. Globalisasi yang berarti bahwa adanya proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran serta aspek-aspek kebudayaan lainnya.

Globalisasi tidak hanya isyarat terjadi pertukaran produk dari satu Negara kenegara lainnya namun juga terjadi arus ideologi yang dapat kita lihat dalam perkembangan terakhir tentang meluasnya tuntutan demokrasi dibeberapa Negara. Selain itu globalisasi juga membawa aspek-aspek budaya yang memungkinkan kebudayaan lokal tergerus oleh munculnya budaya lain.

Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka yang menjalankan politik luar negri bebas aktif tidak bisa menutup diri dari perkembangan ini. Pasca reformasi integrasi terhadap dunia internasional semakin intensif dilakukan, beberapa undang-undang tentang penanaman modal asing direvisi untuk memberikan peluang lebih besar terhadap masyarakat internasional menanamkan modal di Indonesia. Beberapa perjanjian kerjasama dan perdagangan baik dalam bentuk regional maupun internasional disepakati. Menghadapi persaingan global sejumlah persoalan dan tantangan terus muncul, mulai dari persoalan ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.

Tahun 2015 ini integrasi ekonomi Negara-Negara ASEAN sudah akan dilaksanakan, yang dikenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi Asean. Arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal akan lebih bebas keluar masuk diantara Negara-negara anggota ASEAN tanpa hambatan baik itu tarif maupun nontarif. Harus kita sadari walaupun judulnya adalah kerjasama tetap saja yang terjadi sesungguhnya adalah persaingan.Persaingan menuntut kemampuan serta persiapan untuk dapat lebih dominan guna memenangkan persaingan. Kita tentunya tidak ingin bangsa ini hanya menjadi konsumen, menjadi penonton, menjadi kelompok yang dirugikan dari kerjasama ini.

Secara makroekonomi Indonesia terus menerus mengalami defisit transaksi berjalan, berarti bangsa Indonesia lebih banyak melakukan impor dibanding melakukan ekspor. Impor saat ini lebih didominasi oleh bahan-bahan pangan yang sebetulnya dapat dihasilkan oleh bangsa ini bahkan mungkin untuk surplus dan di ekspor keluar negeri. Impor yang kita lakukan bukan berupa barang-barang modal sehingga memungkinkan munculnya perkembangan produksi. Selain bahan pangan, impor lebih di dominasi oleh barang konsumsi lainnya seperti barang elektronik dan otomotif, yang penggunaannya lebih sebagai barang-barang yang sifatnya untuk memenuhi gaya hidup.

Pelemahan nilai tukar rupiah pada titik terendah setelah krisis 1998 pada tahun 2015 ini tidak bisa kita lihat semata atas situasi perekonomian global, seperti membaiknya ekonomi amerika serikat, kebijakan ekonomi cina, namun merupakan rangkaian dari fenomena kebangsaan secara umum. Hal ini mencerminkan pelemahan kemampuan fundamental ekonomi secara umum, permintaan dolar yang meningkat akibat tingginya impor yang terus menerus kita lakukan. Selain itu beberapa kebijakan terkait arus modal jangka pendek menyebabkan investasi dalam bentuk portofolio berupa sekuritas masuk dan keluar dengan mudah namun berefek terhadap stabilitas ekonomi.

Stabilitas ekonomi ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, data BPS menunjukan terjadinya kenaikan tingkat penganguran pada tahun 2015 ini berbanding terbalik dengan tumbuhnya angkatan kerja. Bahkan Indonesia diprediksi pada tahun 2020-2030 akan mendapatkan bonus demografi dimana sekitar 70% penduduk merupakan usia produktif atau usia angkatan kerja. Disatu sisi hal ini akan menjadi peluang pertumbuhan ekonomi jika usia produktif ini bisa disalurkan dengan baik, namun akan menjadi persoalan sosial jika situasi ekonomi Indonesia seperti sekarang.

Rasio gini atau angka kesenjangan sosial juga menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun, hal ini berarti jurang antara masyarakat yang berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi semakin melebar. semakin melebarnyanya angka ketimpangan sosial akan memicu terjadinya persoalan-persoalan sosial ditengah masyarakat.

Fenomena ekonomi ini juga tak kalah menariknya dengan berbagai persoalan politik dalam negri, angin segar demokrasi pasca reformasi juga memunculkan berbagai persoalan baru. Panggung politik yang idealnya arena pengabdian terhadap masyarakat luas menjadi sesuatu yang mahal karena tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon-calon pemimpin baik di legislatif maupun eksekutif. Momentum politik menjadi arena pertarungan finansial. Masyarakat pemilih yang berada dalam situasi ekonomi yang tidak menentu jatuh dalam pragmatisme, sehingga seperti gayung bersambut sempurnalah pemilu menjadi pertarungan kekuatan modal.

Tingginya biaya politik serta faktor keterpilihan seseorang untuk menjadi pemimpin bukan berdasarkan kapasitas dan kualitas, kita dapat menyaksikan hasilnya semakin maraknya korupsi. Korupsi menjadi semacam wabah yang menjangkiti hampir semua lini, hampir semua lembaga terjadi kasus korupsi termasuk lembaga penegak hukum sendiri. Kasus-kasus korupsi meluas sampai ke daerah, sampai februari tahun 2015 sebanyak 343 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline