Munculnya Pagebluk Covid-19
Pada akhir tahun 2019 tepatnya pada bulan Desember, dunia dihebohkan dengan sebuah kejadian yang diduga sebuah kasus pneumonia yang etiologinya tidak diketahui yang kasus tersebut berasal dari Kota Wuhan, China. Datangnya bencana karena penyakit ini di istilahkan oleh orang jawa sebagai “ Pagebluk”.
Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Mayoritas negara-negara di dunia terjangkit wabah tersebut, tidak kecuali Indonesia. Negara-negara di dunia secara mendadak ramai-ramai mengambil kebijakan lockdown dan social distancing, sebagai upaya menyegerakan penghentian penyebaran Covid-19. Berbeda dengan negara lain yang melakukan lockdown, pemerintah Indonesia dengan kebijakan social distancing seperti PSBB dan PPKM diharapkan dapat mengurangi dampak krisis ekonomi. Namun meskipun begitu kebijakan ini tetap mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat di Indonesia dengan dibatasinya ruang gerak masyarakat, belum lagi banyaknya karyawan yang harus dirumahkan bahkan diberhentikan dalam pekerjaannya oleh perusahaan-perusahaan karena mengalami kerugian yang terus membesar disebabkan biaya operasional tidak sebanding dengan pendapatan perusahaan.
Menteri keuangan menyebutkan , terdapat ada 8 sektor bisnis yang akan mendapat goncangan paling berat ditengah situasi sulit ini . Beberapa diantaranya, sektor pariwisata, transportasi, keuangan, ertambangan, konstruksi, pertanian, UMKM, dan otomotif. Dan terdapat sejumlah sektor bisnis yang memiliki peluang potensial untuk terus bertahan, diantaranya adalah produk makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, alat kesehatan dan kimia farmasi, elektronik, pertanian, UMKM, jasa telekomunikasi dan jasa logistik. Sektor pertanian dan UMKM cukup unik, karena mereka akan bisa memiliki peluang potensial hanya jika melakukan diversifikasi produk di tengah terjadinya permintaan masyarakat yang menurun. (Tempo.co, n.d.)
Damuri dan Hirawan (2020) menyatakan kasus penyebaran Covid-19 ini selanjutnya dapat dilihat dari dua sudut pandang ekonomi yang berbeda, yaitu permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan, kondisi pandemi Covid-19 jelas akan mengurangi sektor konsumsi, kegiatan perjalanan dan transportasi, serta peningkatan biaya transportasi dan perdagangan. Sedangkan dari sisi penawaran, kemungkinan besar yang terjadi adalah terkontraksinya produktivitas pekerja/buruh, penurunan investasi dan kegiatan pendanaan, serta terganggunya rantai pasokan global (global value chain).
Dari sisi konsumsi, pola konsumsi masyarakat akibat penyebaran Covid-19 secara otomatis akan berubah. Masyarakat akan cenderung untuk tidak melakukan kegiatan perjalanan atau pariwisata dan lebih cenderung meningkatkan konsumsi pada barang-barang kebutuhan pokok yang dianggap penting sebagai antisipasi terjadinya pembatasan pergerakan manusia. Secara keseluruhan, tingkat konsumsi akan cenderung turun karena harga yang terdistorsi akibat mahalnya biaya transportasi dan logistik barang. Sementara itu, dari sisi produksi, beberapa sektor utama di Indonesia juga akan terdampak akibat penyebaran Covid-19, khususnya industri pengolahan (manufaktur). Kontribusi sektor ini cukup signifikan terhadap ekonomi Indonesia (19-20 persen) dan produk yang berasal dari industri pengolahan juga menyumbang secara signifikan terhadap total ekspor Indonesia, yaitu di atas 70 persen. Kinerja industri manufaktur di Indonesia kemungkinan akan melambat seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19 ini.
Dampak Pagebluk Covid-19 secara Ekonomi di Nusa Tenggara Barat
Pun di Nusa Tenggara Barat, pertumbuhan ekonomi terkoreksi sejak merebaknya Covid-19. Sejalan dengan prediksi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, Kepala Bappeda NTB juga memberikan prediksi terjadinya koreksi pertumbuhan ekonomi NTB yang dikarenakan oleh merebaknya virus corona ini. Berdasarkan target RPJMD tahun 2020, Pemprov NTB menargetkan terjadinya pertumbuhan ekonomi sebesar 5 - 5,5 persen. Namun melihat situasi yang berkembang saat ini, salah satu ahli ekonomi menyebutkan pertumbuhan ekonomi NTB hanya mampu berada dikisaran 3 - 4 persen. (SuaraNTB.com, 2020a).
Pesimistis ini bukan tanpa alasan, melihat tekanan perlambatan ekonomi terjadi di beberapa sektor utama seperti perdagangan, transportasi dan akomodasi, pertambangan dan industri pariwisata. Sebagai gambaran, sektor pariwisata yang merupakan salah satu motor penggerak utama perekonomian NTB ikut terpukul oleh pandemi ini. Penutupan perusahaan di sektor pariwisata seperti hotel, restoran dan tempat hiburan lainnya akan berimbas pada banyaknya karyawan yang akan dirumahkan, bahkan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Belum lagi jika melihat banyaknya sektor-sektor lain seperti UMKM, transportasi yang sangat bergantung pada pariwisata ikut terganggu. Hal ini akan semakin menambah jumlah pengangguran di masyarakat karena kehilangan pekerjaan dan mata pencarian mereka. Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata NTB, sampai dengan April 2020 terdapat sebanyak 10.280 pekerja di sektor pariwisata dirumahkan oleh perusahaan. (SUARANTB.com, 2020b).
Beberapa penelitian yang fokus pada dampak ekonomi NTB karena pandemi covid-19 ini (Rosiady Husaenie Sayuti1 dan Siti Aisyah Hidayati, 2020) memberi gambaran bahwa sebagian besar masyarakat NTB merasakan dampak pandemi covid 19 dilihat dari sisi ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh jawaban responden yang sebagian besar menyatakan pendapatan yang diterima mengalami penurunan tetapi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, lapangan pekerjaan menjadi terbatas, pengeluaran menjadi lebih besar dan didominasi oleh pembelian bahan makanan. Pembelian yang dilakukan melalui online menjadi pilihan dari responden. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pandemi ini berpengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat, baik mereka yang berlatar belakang PNS maupun non PNS dan mereka yang tinggal di perdesaan dan perkotaan.