Lihat ke Halaman Asli

Ketum DPP LDII: Reformasi Bukan Doa Paling Mustajab, Tapi Membutuhkan Proses Perbaikan dan Pengawasan

Diperbarui: 21 Mei 2024   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi demo menuntut reformasi. Foto: Rizal PM

Jakarta, 21 Mei 2024 - Tepat 26 tahun lalu, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto meletakkan jabatannya, menandai dimulainya era Reformasi. Peristiwa bersejarah ini membawa angin perubahan bagi demokrasi Indonesia. Namun, di tengah berbagai kemajuan, Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengingatkan agar Reformasi jangan sampai "memakan anak-anak bangsa" dan mengorbankan cita-cita pendirian Republik Indonesia.


"Reformasi dapat memakan anak-anak bangsa jika liberalisme dalam demokrasi lebih kental, sementara demokrasi Pancasila hanya menjadi jargon," tegas KH Chriswanto.

Menurutnya, empat tuntutan utama Reformasi - Pemilu yang partisipatif, pemberantasan korupsi, reformasi hukum dan HAM, dan desentralisasi pemerintahan - masih memerlukan perbaikan dan perhatian serius dari seluruh elemen bangsa.

KH Chriswanto menyoroti perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang kuat dalam Pemilu untuk mencegah praktik politik uang yang menyulitkan kader terbaik untuk menang. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, mengingat skor Indeks Persepsi Korupsi 2023 yang stagnan dan peringkat Indonesia yang merosot.

"Di bidang hukum dan HAM, penegakan hukum masih memerlukan kolaborasi dengan masyarakat. Bahkan terdapat istilah 'no viral no justice'. Ini menunjukkan penegak hukum harus berupaya lebih keras lagi," paparnya.

Desentralisasi pemerintahan pun masih terkendala peraturan yang tumpang tindih dan menyulitkan investasi.

"Reformasi bukan doa paling mustajab, tapi membutuhkan proses perbaikan dan pengawasan. Dua hal itu bila tidak dilaksanakan, Reformasi hanya mengorbankan anak-anak bangsa dan tujuan berdirinya republik ini," tegas KH Chriswanto.

Sejarawan Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono menambahkan bahwa Reformasi bukan hanya tentang pergantian kekuasaan atau perubahan kelembagaan, tetapi juga transformasi budaya politik yang mendorong akuntabilitas dan transparansi untuk mencapai cita-cita bangsa.

"Hendaknya Reformasi itu tidak hanya sekadar kebebasan untuk saling berebut kekuasaan melalui cara-cara tertentu yang dilegalkan sesuai aturan, tetapi hendaknya sebagai upaya bagaimana hak-hak kesejahteraan publik, dan hak-hak ekonomi publik itu juga didistribusikan secara merata," lanjut Singgih.

Singgih mengajak generasi muda untuk menjadikan peristiwa reformasi sebagai bagian dari sejarah untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline