1 Januari 2014 pukul 2:01 [caption id="" align="alignnone" width="390" caption="google.image"][/caption] Bismillahirrahmanirrahim... Menjelang tahun baru, seluruh santri yang tersisa di pondok mengadakan nobar dalam rangka menyambut detik-detik pergantian tahun 2013 menuju tahun 2014. Setelah menyaksikan film itu rasanya hatiku benar-benar terharu dan benar-benar membuatku tak bisa tertawa. Film yang mengisahkan perjalanan Jokowi dari sebelum lahir hingga menjadi Gubernur Jakarta sekarang ini telah banyak memberiku pelajaran moral yang dapat diambil. Jika malihat perjalanan hidup Jokowi yang memang merangkak dari keluarga miskin, pantaslah jika sekarang ini kita melihat sepak terjang Jokowi sebagai pemimpin seringkali mendapat sorotan publik. Mulai dari kesederhanaanya, low profile-nya, action-nya, inovasi-inovasinya, dan gebrakannya, telah banyak memberi dampak yang cukup signifikan dalam menata ibu kota. Beliau menjadi publik figur yang di damba oleh masyarakat. Kemisikian dan keprihatian yang dia alami sejak kecil membuat dia peka terhdapat masyarakat di sekitarnya. Itulah yang membuat masyarakat merasa nyaman ketika berada di dekat Jokowi. Tak peduli orang mau bilang itu pencitraan apa tidak, aku tak pantas mencari-cari kesalahan beliau. Yang kutahu beliau adalah salah satu publik figure yang patut di contoh kebaikannya. Namun, kali ini saya tidak bercerita banyak tentang kisah perjalanan dalam film itu. Melainkan akan sedikit mengulas satu bagian yang menurutku benar-benar membuatku sanga terharu ketika mengingat bagian itu. Dalam film itu dikisahkan bahwa ayah Jokowi tak mampu membayar uang kontrakan. Sang pemilik kontrakan mendesak agar tagihannya segera di lunasi. Akhirnya untuk membayar uang kontrakan itu, ayah Jokowi hendak menjual piring peninggalan ayahnya Jokowi (kakek Jokowi). Namun naas, saat piring itu hendak dijual, sesampainya di pasar sepeda yang di kendarai ayah Jokowi terjatuh sehinga mengakibatkan semua piring yang akan dijual itu pecah. Sebagai gantinya, ayah Jokowi menggadaikan jam tangan peninggalan belanda hadiah dari ayahnya. Awalnya jam itu di gadai dengan harga Rp. 5000,- (harga jadul boz). Namun pemilik pegadaian menawarnya dengan harga Rp. 1500,-. Kemudian ayah Jokowi menaikkannya menjadi Rp. 3000,-. Namun pemilik pegadaian tidak mau. Setelah di desak, akhirnya pemilik pegadaian itu menaikkan harganya menjadi Rp. 1650,-. Hanya naik Rp. 150,-. Karena sangat terpaksa dan benar-benar butuh uang, ayah Jokowi menyerahkan jam itu walaupun dengan berat hati. Tentu saja uang segitu tak cukup untuk membayar kontrakannya. Jam inilah jam kesayangan ayah Jokowi. Untuk menebus jam ini kembali, ayah Jokowi rela menabung selama dua tahun. Namun setelah uang terkumpul, uang yang digunakan untuk menebus jam itu tidak jadi diguanakan untuk menebus jam. Melainkan digunakan ayah Jokowi sebagai tambahan biaya kuliah Jokowi di UGM Jogja. Dari situlah jokowi berjanji pada ayahnya jika kelak sudah kerja, jam itu akan ditebus dan diberikan kepada ayahnya. Hingga suatu hari, ketika Jokowi sudah mapan dalam pekerjaannya. Dia mendatangi pemilik pegadaian dan bermaksud menebus jam tangan ayahnya. Namun pemilik pegadaian sudah meninggal. Pelayanan dilanjutkan oleh putranya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan Jokowi, putra pemilik pegadaian memperlihatkan berbagai jam tangan milik ayahnya. Ketemulah jam tangan ayah Jokowi. Lebih menyenangkan lagi, jam itu bisa diambil cuma-cuma tanpa dibayar sepeser pun. Sesuatu terjadi ketika jam itu sudah dipegang oleh Jokowi. Secara mendadak Jokowi mendapat telpon dan mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Sontak saja, hati Jokowi sangat terpukul mendengar berita duka itu. Disaat dia ingin mempersembahkan kebahagiaan kepada ayahnya dengan memberikan jam tangan kesayangan ayahnya itu, ternyata setelah jam tangan sudah dalam genggaman, justru ayahnya meninggal disaat bersamaan. Sangat ironi. Duh... bagian ini paling menyentuh bagiku. Secara sepontan aku langsung teringat orang tua di rumah. Ayah dan ibuku. Kisah Jokowi itu memberiku pelajaran bahwa mumpung orang tua masih hidup bersama, aku akan berusaha memberi dan menuruti apa yang mereka inginkan. Suatu hari aku akan sangat menyesal jika apa yang beliau berdua inginkan dariku tidak aku turuti sampai beliau tiada. Mati itu pasti. Dan kita tidak tahu kapan Allah memberi kontrak umur kepada kita. Karena itu, sebelum semua terlambat, bagi Anda yang orang tuanya masih hidup, coba tanyakanlah apa yang beliau inginkan dari Anda. Dengan apa beliau bisa bahagia. Jangan sampai kita nanti dihantui penyesalan yang teramat mendalam karena belum mampu mempersembahkan prestasi terbaik untuk kedua orang tua kita. Ini film yang sangat pas untuk aku renungkan di penghujung tahun 2013 ini. Susai melihat film itu, aku tidak ikut bergabung bersenang-senang dengan teman-teman lain yang merayakan tahun baru dengan api unggun dan bakar-bakar jagung. Film itu telah menyadarkanku akan pentingnya waktu untuk tidak disia-siakan. Sejenak waktu yang terlewat dengan sia-sia telah banyak memberiku penyesalan. Target-target yang telah aku susun tidak akan tercapai jika aku sampai melalaikan waktu yang tersedia ini. Di tahun 2014 aku berazzam mempersembahkan karya terbaikku untuk kedua orang tua. Semoga tidak terlambat. Aku pun berharap beliau berdua bisa menyaksikan kesuksesan besarku sebelum beliau meninggalkanku. Karena itulah, sukses di usia muda menjadi sebuah obesesi yang harus tercapai. Begitu pula menikah muda. Alangkah senangnya jika beliau berdua bisa menimang cucu disaat masih sehat seperti sekarang ini. Sekarang tanyakan pada diri masing-masing, apa yang akan kita persembahkan untuk kedua orang tua kita? Prestasi terbaik yang bagaimanakah yang akan kita ukir? Ingatlah usia. Semua yang di dunia ini tidaklah kekal. Akan datang suatu masa dimana mata tak mampu lagi utuk melihat. Telinga tak mampu lagi mendengar. Mulut tak mampu lagi berucap. Hati tak mampu lagi merasa. Tubuh tak mampu lagi bergerak. Bayangkanlah. Rasakanlah. Disaat hari itu terjadi, kita terlambat memberikan yang terbaik untuk mereka. Pastilah amat menyesal. Orang tua tak mampu lagi menyaksikan kesuksesan kita. Tak mampu pula merasakan kebahagiaan kita. Padahal, tak ada yang lebih membahagiakan orang tua melainkan menyaksikan keberhasilan anak-anak mereka. Bagi orang tuanya sudah tiada, semoga kucuran doa tulus yang Anda panjatkan benar-benar memberi kesejukan kepada mereka di alam sana. Aamiin[] Salam SUPER SEMANGAT! Pendekar Trainer | @RizalSemangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H