Takjilan merupakan salah satu rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan oleh banyak orang dalam bulan Ramadan terutama di Indonesia. Masyarakat Indonesia jika ditanya tentang takjilan tentunya akan menjawab berburu makanan berbuka di sepanjang jalan atau di tempat perbelanjaan seperti di pasar. Kamu sendiri jika ditanya terkait, apa itu takjilan akan menjawab apa? Tentu jawaban lumrah yakni berburu makanan berbuka bukan.
Hal itu mungkin benar saja, tidak disalahkan karena benar adanya kata takjilan yang digunakan saat ini terutama di Indonesia bermakna seperti itu. Namun, jika kita tilik lebih jauh, kata takjilan sendiri maknanya sangat berbanding terbalik dengan makna aslinya.
Asal Kata Takjilan
Takjilan sendiri berasal dari bahasa Arab seperti yang dikutip dari web Muhammadiyah, yakni "ajjala-yu'ajjilu-ta'jilan," ini artinya momentum, tergesa-gesa, menyegerakan, atau mempercepat. Sedangkan jika ditinjau dari kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), takjilan memiliki dua arti yakni "mempercepat berbuka puasa" dan "makanan untuk berbuka puasa".
Dari dua pemaknaan tersebut baik dari bahasa arab dan KBBI, makna takjilan yang sebenarnya adalah menyegerakan berbuka bukan proses untuk membeli makanan berbuka. Dapat ditarik kesimpulan seiring berkembangnya waktu pemaknaan tentang takjilan dari menyegerakan berbuka menjadi membeli makanan berbuka atau makanan-makanan berbuka. Tidak ada yang keliru hanya perspektif tentang takjilan yang berubah, tetapi asal katanya tetap berarti menyegerakan, konteks penggunaannya saja yang berkembang.
Sejarah Tradisi Takjil Di Indonesia
Tidak banyak tulisan terkait sejarah takjilan di Indonesia, tetapi ada satu yang dapat dilihat, yakni pada catatan Snouck Hugronje dalam De Atjehers ini disusun pada 1891-1892. Pada catatan tersebut mengungkapkan bahwa takjil sudah dikenal oleh masyarakat Aceh di bulan Ramadan kala itu. Berdasarkan tulisannya, masyarakat Aceh tiap menjelang berbuka puasa mereka beramai-ramai bersiap menyantap takjil di masjid. Biasanya mereka menyantap bersama menu khas yakni "e bu peudah" atau bubur pedas.
Tidak hanya ada di Aceh, sejarah takjilan juga tersebar di Yogyakarta, dengan pihak yang berperan dalam penyebaran tradisi ini yakni organisasi islam Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Hal ini dapat dilihat dari buku Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010).
Dalam buku tersebut menyebutkan bahwa Muhammadiyah berperan besar dalam menyebarkan tradisi takjilan di wilayah Yogyakarta. Abdul Munir Mulkhan, juga menambahkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya menyebarkan budaya takjilan, tetapi juga mempopulerkan kebiasaan mengakhiri sahur menjelang subuh, Jdi sebelum azan subuh sudah tidak boleh lagi makan.
Semarak Takjilan Ramadan 1445-H
Tahun ini tentunya tidak berbeda dengan tahun-tahun Ramadan sebelumnya. Pemaknaan takjilan tetap menjadi hal yang dilakukan untuk berburu makanan berbuka. Contoh sendiri di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Sebelum masuk ke masjid disekitar pelantaran akan tersedia banyak tenant yang berdiri. Terlihat jajanan ringan hingga berat, makanan manis hingga pedas, minuman dingin dari cup small hingga large.