Lihat ke Halaman Asli

Bocah Kali, Kahlil Gibran, Nabi dan Alien

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Syahdan sebuah kisah pada suatu siang yang sepi, di tepian sungai yang dangkal dan berarus lambat, dalam selimut bayang-bayang dari berbaris-baris pohon pinus seorang  bocah  sedang menerbangkan jiwanya entah kemana. Tatapannya kosong namun tajam.

“jika alien dipahami sebagai makhluk asing” ujarnya dalam benak “dari bagaimana suatu peradaban tertata sedemikian rupa serta dari rentang waktu dan luas ruang sejarah tertentu maka aku adalah alien itu. Aku bukan terasing aku hanya mengasingkan diri dari peradaban yang terasing.” Sesumbar benaknya. Lalu ia mengutip kalimat-kalimat kahlil gibran dari buku yang ia "colong" dari rak buku kakaknya yang belum lama ini digondol orang kota untuk diperistri. Sambil berdiri bak penyair ternama si bocah teriak-teriak.

“kucari kesepian untuk memalingkan muka, tak ingin melihat wajah-wajah pria yang menjual harga diri, dan dengan harga yang sama membeli yang lebih buruk, baik benda maupun segala sesuatu yang menyangkut rohani”

“kucari kesepian untuk menyembunyikan diri, karena tak ingin menjumpai wanita yang berjalan dengan tinggi hati, mempermainkan beribu senyum di bibir, sementara di kedalaman hatinya yang mengandung beribu wajah, hanya satu maksud terpatri”

“kucari kesepian untuk menutupi diriku dari insan-insan yang tenggelam dalam rasa puas diri, yang melihat bianglala ilmu pengetahuan dalam mimpinya, dan yakin bahwa mimpinya telah tergengggam.”

“aku menjauhkan diri dari pergaulan untuk menghindari mereka yang melihat bayangan kebenaran dalam kuncup pertumbuhannya, namun berteriak lantang ke segala penjuru, bahwa telah menemukan sepenuhnya intisari kebenaran”

“kutinggalkan dunia ramai dan mencari kesepian, karena jemu memberi penghormatan kepada orang banyak yang percaya, bahwa kerendahan hati itu termasuk kelemahan, dan belas kasihan semacam sifat pengecut, sedangkan kecongkakan suatu bentuk kekuatan”

“kucari kesepian karena jiwaku kesal berhubungan dengan mereka yang sungguh percaya, bahwa matahari dan bulan dan bintang tidak terbit kecuali dari kopornya, dan tidak tenggelam kecuali dalam taman mereka sendiri”

“aku menjauhkan diri dari para pemburu pangkat, yang menghancurkan nasib umat manusia seraya menaburkan debu emas pada mata mereka dan memenuhi telinganya dengan berbagai suara tanpa makna”

“aku meninggalkan para pendeta dan ulama yang cara hidupnya tidak sesuai dengan isi khotbahnya, yang menuntut jamaahnya melakukan perbuatan yang justru tidak dilakukannya sendiri.”

“aku mencari kesepian karena tak pernah menerima kebaikan dari sesama insan, kecuali membayarkannya penuh dengan segenap hati”

“aku mencari kesepian karena jenuh dengan lembaga mengerikan, yang disebut orang : peradaban—hantu yang ditegakkan di atas kesengsaraan abadi umat manusia”

“Aku mencari kesepian, sebab di dalamnya berkembang penuh kehidupan bagi rohani, bagi sanubari maupun jasmani. Aku menemukan di  sana hamparan padang rumput tanpa tepi, tempat istirahat cahaya matahari, dan bunga-bunga menghamburkan wanginya ke udara, dan sungai-sungai gemericik melantunkan nyanyiannyam menuju samudara. Kutemukan gunung-gunung tempat tersembulnya Musim semi, dan rona kerinduan Musim panas, lagu-lagu penuh irama Musim gugur, serta kegaiban indah musim salju. Aku datang ke ujung bumi Tuhan ini karena ingin mengetahui rahasia Alam Semesta, dan menghadap tahta Tuhan”

Begitulah yang terpikir dalam tempurung kepalanya dan berkelindan bersamaan dalam benak anak itu sambil sesekali melemparkan kerikil-kerikil kesungai seolah ia mengajak sungai untuk berbicara dengan bahasa yang keduanya tidak saling mengerti.

Setelah puas berekspresi tanpa audien, duduklah kembali si bocah itu seketika  pula ia teringat pula pada kisah-kisah nabi yang kerap ia dengar melalui dongeng-dongeng para tetua kampung di surau samping rumahnya. Nabi-nabi itu juga mengasingkan dirinya dan berani memilih untuk memaknai keadaan, memaknai dengan penuh kesadaran jiwanya, bukan sekedar menerima pengertian dan makna-makna lewat tradisi yang sudah membudaya dan tabu untuk hanya dipikirkan, mengapa demikian, kenapa? Apa sebabnya? Dan seterusnya. Meskipun makna yang ia dapati adalah makna yang akan melahirkan banyak rasa risih, musuh dan benih-benih kebencian dari mereka tak murni jiwanya, jiwa yang terlanjur terpenjara oleh norma, budaya yang telah mendarah daging dan tak terbantahkan. Para Nabi itu tetap berani memegang erat makna itu, tak tergantikan oleh bulan ataupun matahari. Keberanian memilih itu adalah prolog keterbukaan jiwanya sebelum Tuhan akhirnya memilihnya sebagi Nabi.

“Tidak ada salahnya aku memilih, meski tentu saja Tuhan tak akan pernah memilihku untuk menjadi Nabi, menjadi manusia saja belum tentu karuan bisa, mau jadi  nabi, bah tai !!” dengung batin anak itu menyeringai ke arah kehidupan yang ada disekitarnya.

Entah bagiamana nalarnya bekerja urusan alien terungkit pula Nabi olehnya. Mengikuti pola aliran sungai, air yang membenturkan dirinya ke apa saja.

Seketika adzan ashar berkumandang, sambil ia memperhatikan pak kuli bangunan di sebrang sungai yang tak peduli adzan sedang berkumandang, tetap saja memukul paku di tembok-tembok itu, sebab bayangan istrinya lebih jelas dan lebih keras dari suara adzan, usut punya usut istrinya dirumah akhir-akhir ini minta dibelikan “blekberi” yang tak kunjung pak kuli belikan. “hayya alal falah..hayya alal falah”.

Yogyakarta, 30 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline