Lihat ke Halaman Asli

Riza AntikaPutri

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi-Antropologi

Problematika Lonjakan Angka Perkawinan Anak di Masa Pandemi

Diperbarui: 1 November 2021   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan sebelum mencapai usia 18 tahun. Melalui peraturan undang-undang di Indonesia, batas minimal usia untuk menikah yaitu 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan anak didefinisikan  pelanggaran mendasar terhadap hak asasi anak, atas pendidikan, kesehatan, penghasilan, keselamatan, kemampuan dan juga membatasi status dan peran anak dalam hal kesehatannya sendiri, untuk hamil dan juga melahirkan.

Terbaru, beberapa pelajar dan guru di SMP Negeri 01 Namrole melakukan demonstrasi lantaran teman mereka, Nisa Karate dipaksa menikah padahal usianya baru 15 tahun dengan seorang Ustadz dari salah satu Pondok Pesantren Tangerang Selatan.

Di masa pandemi yang belum usai, terjadi lonjakan perkawinan anak di Indonesia. Angka perkawinan anak diprediksi akan terus meningkat hingga akhir dekade ini. Hal ini sangat berdampak buruk bagi lingkungan sosial, khususnya wanita, di mana rentan terjadi masalah kesehatan reproduksi.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak. 

Pertama, masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menjadikan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.  

Kedua, kehamilan di luar nikah merupakan ketakutan orang tua terhadap putrinya dan yang mendorong anaknya untuk menikah diusia yang masih belia. Kehamilan di luar nikah biasanya terjadi karena pergaulan yang bebas serta kurangnya perhatian orang tua. 

Ketiga, sosial-budaya atau adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu semakin menambah pencapaian perkawinan anak di Indonesia, misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia 18 tahun terkadang dianggap tidak menghargai dan menghina ,menyebabkan orang tua lebih memilih untuk menikahkan putrinya.

Pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi genting bagi jutaan perempuan muda. Sekolah-sekolah yang sedang ditutup, isolasi dari teman-teman dan orang pendukung, serta meningkatnya kemiskinan. Hari Perempuan Internasional berfungsi sebagai pengingat waktu tentang apa yang akan hilang dari para wanita muda, jika kita tidak bertindak cepat terhadap pendidikan, kesehatan, dan masa depan kita. Peringatan ini dilaksanakan untuk mengupayakan hak-hak atas anak perempuan, termasuk pelanggaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik diusia dini.

Kebijakan terhadap penutupan sekolah hingga diterapkan sistem pembelajaran Dalam Jaringan (Daring) juga menjadi salah satu pemicu maraknya perkawinan anak.

Pergaulan bebas merupakan penyebab kasus kehamilan anak yang berujung perkawinan dini. Di mana anak laki-laki maupun anak perempuan yang belum siap mentalnya sudah harus terikat tali pernikahan. Pernikahan anak yang terjadi ditengah-tengah masyarakat memberikan banyak dampak negatif, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.

Nikah muda, pasangan biasanya belum siap menjalani kehidupan berumahtangga. Akibatnya, angka perceraian pada pasangan nikah muda sangat meningkat, hal tersebut karena konflik yang terus-menerus muncul, dan mereka tidak tahu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Selain itu, masalah mental atau belum matangnya cara pikir anak juga memperparah keadaan. Masalah tersebut bahkan dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline