1. Sistem Tanam Benih Langsung (TABELA)
Di Indonesia, sistem tabela sudah mulai diadopsi oleh petani, terutama di daerah sentra produksi padi dengan tenaga kerja langka dan mahal. Di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung, sistem tabela basah sudah berkembang di kalangan petani karena tenaga kerja yang langka dan mahal. Penaburan benih dalam larikan dapat menggunakan alat yang disebut atabela (alat tanam benih langsung). Di daerah transmigrasi pasang surut Sumatera Selatan, tabur benih rata
(broadcast seeding) cukup populer dengan sebutan sistem tanam sonor. Dengan sistem ini, curahan tenaga kerja untuk menanam padi hanya 12 orang/ ha. Di lahan sawah tadah hujan Jawa Tengah, tabela kering pada padi gogorancah sudah puluhan tahun dipraktikkan oleh petani. Sistem gogorancah tersebut sekaligus dapat meningkatkan indeks panen karena waktu tanam dan waktu panen bisa lebih awal (Pane, 2003).
Teknologi tanam benih langsung (Tabela) padi tabela memiliki beberapa keunggulan, antara lain memperpendek periode produksi padi sehingga dapat meningkatkan indeks pertanaman dan mengurangi biaya tenaga kerja untuk tanam. Teknologi Tabela dapat diterapkan pada agroekosistem sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan lahan pasang surut. Tabela sesuai untuk diterapkan pada wilayah yang kekurangan tenaga kerja, musim hujan pendek, dan air irigasi dapat diatur. Lokasi yang paling sesuai untuk penerapan Tabela adalah agroekosistem sawah irigasi teknis. Meskipun demikian, pada agroekosistem lahan pasang surut, lahan kering, dan sawah tadah hujan juga dapat diterapkan dengan syarat pengelolaan air dan penyiapan lahan dilakukan secara khusus. Pada Tabela tidak ada pembuatan persemaian dan pindah tanam sehingga memerlukan tenaga kerja lebih sedikit (Balitbang, 2015).
1.1. Pengelolaan Air Pada Sistem Tanam Benih Langsung
Tabela menghendaki kondisi permukaan tanah yang rata agar air irigasi mudah didrainase. Pengolahan tanah dapat dilakukan secara kering maupunbasah/melumpur. Pengolahan tanah yang sempurna akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi perkecambahan benih padi sehingga pertumbuhannya lebih seragam. Kualitas pengolahan tanah yang kurang baik menyebabkan tanah masih berbongkah-bongkah dan tidak rata sehingga terdapat genangan air. Selain itu, rimpang dan biji gulma cepat bertunas dan tumbuh kembali untuk bersaing dengan tanaman (Pane, 2003).
Menurut Balitbang (2015), kegiatan irigasi atau pengaturan air sistem tanam benih langsung atau tabela pada agroekosistem sawah irigasi yaitu dengan cara lahan dipertahankan lembab dan tidak tergenang selama 10 hari setelah tabur. Selanjutnya, air dimasukan dengan kedalaman menyesuaikan tinggi tanaman hingga kedalaman maksimal 5 cm. Apabila memungkinkan dapat dilakukan pengairan berselang. Sedangkan pengaturan air atau irigasi sistem tanam benih langsung pada agroekosistem lahan pasang surut tipe B, dilakukan dengan pengelolaan air mikro menggunakan sistem folder.
2. Sistem Tanam Pindah (TAPIN)
Sistem tanam pindah (Tapin) adalah sistem penanaman tanaman padi yang terlebih dahulu melalui proses pesemaian dan pemindahan bibit. Dalam sistem tanam pindah, benih padi disemaikan terlebih dahulu di lahan yang terpisah yang biasa di sebut lahan persemaian selama 20-25 hari. Setelah bibit siap untuk di pindahkan bibit di tanam dengan cara di pindah dari bedengan persemaian ke petakan sawah (Sandaurang, 2016).
Kelemahan budi daya padi sistem Tapin antara lain, penggunaan tenaga kerja dalam jumlah banyak, serta memerlukan waktu relatif lama dan kurang efisien. masalah yang dihadapi dalam usaha budidaya padi dari waktu ke waktu semakin banyak, hal ini disebabkan berkurangnya lahan subur dan tenaga kerja produktif serta mahalnya tenaga kerja. Beberapa tahapan yang dilakukan para petani dalam melakukan budidaya padi sawah sistem Tapin diantaranya persemaian benih, pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan panen.
Menurut Sukisti (2010), beberapa hambatan yang biasa dihadapi oleh para petani sistem tanam pindah yaitu:
- Cuaca yang tidak menentu yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman.
- Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), terutama hama keong dan burung.
- Keterbatasan tenaga kerja dalam bidang pertanian yang berdampak pada tingginya harga tenaga kerja tersebut, sedangkan sistem Tapin lebih banyak membutuhkan tenaga kerja, khususnya dalam proses penanaman.