Sepulang sekolah Muhaimin melamun, lelaki muda 30 tahunan yang jadi guru honorer di pelosok kampung yang jauh dari kota, ia bergaji tiga ratus ribu sebulan dan baru saja diberhentikan Kepala Sekolahnya, alasannya sederhana karena ia tidak memilih anak Kepala Sekolah untuk menjadi komandan upacara. Sekarang ia gelisah, sudah gaji tak seberapa, mengabdi mati-matian sekarang ia harus dipecat gara-gara tak satu pilihan dengan Kepala Sekolah.
Kemana lagi mencari gaji?
Hujan turun jam empat petang, Muhaimin meletakan tempayan di atas loteng dekat dapur, atap rumahnya telah lama bocor, hujan deras sekali sampai seekor anai-anai mendekap begitu erat ke perapian, takut ia kebasahan sebab hujan sepertinya akan berlama-lama.
. . .
Pagi itu anak-anak berbaris di lapangan, mereka bersemangat latihan untuk upacara bendera hari Senin, Abdul anak sang Kepala Sekolah berbaris paling depan, dada nya membusung penuh percaya diri, ia calon tunggal Komandan Upacara begitu teriaknya dalam hati sebab bapaknya Kepala Sekolah.
"Baik anak-anak sekarang kita akan memilih siapa yang akan menjadi Komandan Upacara pada hari Senin nanti, siapa yang suaranya paling lantang dan tegas akan terpilih menjadi Komandan Upacara"
Muhaimin bicara tegas
Anak-anak begitu bersemangat, semua yakin akan terpilih. Satu persatu anak-anak itu maju ke depan diminta berteriak memberi tanda hormat hingga selesai lah prosesi itu. Suara Abdul dan Paulus menjadi yang paling lantang dan tegas diantara semua suara anak-anak itu, namun Paulus lebih menunjukan sikap hormat dan tegap, sepertinya ia yang akan terpilih dan Abdul gusar.
"Baik anak-anak kita telah menyelesaikan seleksi pemilihan calon Komandan Upacara dan Bapak sudah menentukan pilihan siapa yang akan menjadi Komandan Upacara kita, dan yang akan menjadi Komandan Upacara adalah...."
"Wah semangat sekali anak-anak....."
Pak Victor selaku Kepala Sekolah datang ke lapangan tiba-tiba