Aku, seorang warga Jakarta beragama Islam, bersuku Jawa, Sunda, dan Batak, dengan ragam karakteristik dan sifat yang tidak terlalu paham perihal agama dan politik, tergelak akan polemik dan drama kehidupan akhir-akhir ini. Berhubungan dengan cerita Pemilihan Kepala Daerah 2017 yang erat kaitannya dengan agama dan keberagaman, melalui artikel ini, aku ingin menyampaikan opini ku melalui pengamatan empiris. Dan, perlu ditekankan di sini, bahwa aku menuntut pernyataan absolut untuk tidak memihak atau memojokkan siapapun dan pihak manapun.
Ideologiku terhadap pentingnya kehidupan sosial mengejawantah ke banyak aspek kehidupan, mulai dari warga Jakarta minoritas dan mayoritas, subjektivitas terhadap kinerja pemimpin sebelum dan calon berikutnya, objektivitas akan kemakmuran warga Jakarta dengan segudang janji dan aspirasi yang terbendung melalui hasrat keharmoniasan, serta keberlangsungan Jakarta kedepannya. Dan, membuatku bertanya-tanya kenapa.
Isu-isu dari pertikaian secara dingin tersebut menuai kecaman ke beberapa pihak dan kalangan, khususnya warga Jakarta. Berkembangnya isu yang marak diperbincangkan oleh khalayak publik menjadikan polemik yang tidak berkesudahan di beberapa bulan terakhir ini. Perihal SARA, kesalahan dan kebaikan, harapan disertai janji-janji atas program kerja, kinerja nyata yang diacuhkan karena faktor surat Al-Maidah ayat 51, serta kurangnya kesadaran diri sendiri, ditambah minim nya asupan pendidikan di kalangan bawah menjadikan perseteru di kami, warga Jakarta. Aku pun sedih. Keadaan panas diantara kami menjadikan perpecahan warga secara tidak langsung, kendati demikian ada beberapa hal vital yang dapat dijadikan sebagai hikmah dan pembelajaran yang dapat diambil melalui masalah ini.
Kurangnya pendidikan di beberapa segmentasi warga Jakarta menjadi faktor utama munculnya masalah dalam PILKADA 2017 ini. Mengapa demikian? Aku pun berfikir keras dan secara bertahap mencari sebab dan akibatnya.
Ternyata, sebab dari polemik yang beradu pro dan kontra akhir-akhir ini—hingga putaran dua selesai—disebabkan oleh beberapa hal yang kurang rasional, menurut ku. Pertama, yaitu masalah pendidikan dan pembelajaran. Kurangnya refleksi dan kesadaran diri sendiri akan pentingnya pendidikan di Indonesia menjadi penyebab utama perseteruan. “Kekuatan-kekuatan hebat" dari para petinggi pemerintahan yang dengan piawai memainkan perannya di muka publik, berhasil “menyihir” pikiran—beberapa—warga Jakarta, khusus nya orang-orang yang menganut faham “Bumi Itu Datar”.
Didukung oleh radikalisasi oknum-oknum tertentu yang cenderung menjatuhkan salah satu calon pasangan. Padahal, jika berbicara soal bukti dan realisasi, pasangan CAGUB dan CAWAGUB yang—berkesan—dipojokkan itu, memiliki potensi lebih untuk kembali menjalankan tugasnya selama lima tahun kedepan. Kedua, faktor media berlebih. Berkaitan dengan minimnya pendidikan dan pembelajaran di beberapa segmentasi warga Jakarta, sorotan media terhadap masalah yang—terkadang— bersifat melebih-lebihkan, mendukung orang-orang yang “tersihir” untuk menutup hati dan pikirannya, bahkan mereklamasikan kebenaran yang sudah nyata menjadi suatu perspektif dengan sudut pandang yang negatif.
Ketiga, pernyataan pendukung. Seperti pepatah, “Karena nila setitik, rusak susu sebelangga”, eksistensi nyata yang sudah jelas terlihat realisasinya, hilang bak ditelan bumi tanpa memberikan syarat. Selain didukung karena dua faktor sebelumnya, pernyataan yang tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 tentang penistaan agama, juga menjadi senjata jitu untuk mengusut masalah dari polemik yang terjadi. Sehingga, Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 untuk periode lima tahun kedepan tidak dilakukan berdasarkan hati nurani. Sungguh sedih.
Hal-hal tersebut tidak akan luput dari sosiologi kehidupan yang erat hubungannya dengan keanekaragaman. Kerap dinyatakan dengan Bhineka Tunggal Ika. Perseteruan didominasi oleh kalangan mayoritas yang memperjuangkan “rules”, seperti yang tertera dalam beberapa ayat di Al-Qur’an dan berhubungan dengan ketetapan Surga dan Neraka dalam memilih pemimpin. Sementara, negara Indonesia terkenal akan keanekaragamannya. Lantas, untuk apa menerapkan Bhineka Tunggal Ika jika panutan yang diacu hanya berdasarkan SARA?
Aku pun sedih akan perpecahan secara tidak langsung yang terjadi di antara warga Jakarta akhir-akhir ini. Isu terkait RAS, Agama, dan Hak memisahkan, dan bahkan mengkotak-kotakan aspek kehidupan. Bukankah agama mengajarkan kita untuk hidup damai dan berbuat baik? Yang aku tahu, agama sangatlah sederhana, namun kompleks dari dalam hati untuk urusanku dengan Sang Pencipta. Mengapa inti permasalahan yang terjadi berkesan “mengesampingkan” saudara-saudara kita yang beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Kejawen, dan lain sebagainya.
Padahal, visi dan misi kehidupan di Ibukota itu satu. Beranekaragam Namun Tetap Satu. Sehingga, yang seyogyanya menjadi tolak ukur perspektif dalam memilih, bukan hanya berdasarkan agamanya saja, tetapi juga faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan keseluruhan dari sistem kehidupan sosial. Ingat, kita adalah satu. Tanpa diskriminasi sama sekali. Sisanya, kembali lagi ke refleksi dan kesadaran masing-masing pihak untuk membenahi apa yang kurang dan menjaga apa yang cukup untuk menjadi lebih baik lagi, tanpa memojokkan pihak lain. Urusan kepercayaan dan agama adalah rahasia. Hanyalah kamu dan Sang Pencipta mu lah yang tahu serta patut untuk menghakimi mu.
Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, saatnya kita menikmati bubur tersebut dengan bersama-sama memberikan antusias lebih demi kemajuan Ibukota ini. Sebagai bukti nyata dukungan untuk DKI Jakarta, mulailah mencintainya melalui dirimu sendiri terlebih dahulu.