Lihat ke Halaman Asli

Riyani

Stay focus and complete the journey

Meski Pandemi, Tak Membuat Usaha Batu Bata Sepi

Diperbarui: 29 Juni 2021   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Di bawah rerindangan pohon bambu, terdapat sebuah tempat berbentuk seperti rumah tanpa dinding dengan atap welit (atap yang terbuat dari daun tebu) dan asbes. Di tempat tersebut, ngadiman (55) menggunakannya untuk menempatkan batu bata agar terhindar dari hujan. Tempat yang cukup luas itu, disewa oleh Ngadiman untuk usaha pembuatan batu batanya. Di sekelilingnya terdapat tumpukan batu bata yang tertata rapi dan hampir kering. Ada juga yang masih di tanah yang berbaris rapi.

Ia bukanlah satu-satunya pengrajin batu bata di Desa Panggungroyom. Di desa ini terdapat sekitar 21 orang yang juga bekerja sebagai pembuat batu bata. Dalam usahanya ini, ia dibantu oleh istrinya dan juga satu kuli untuk membantu mencetak dan merapikan batu bata yang sudah kering. Untuk setiap 1000 cetakan, Ngadiman membayar kuli senilai Rp 45.000, sedangkan untuk 1000 batu bata yang dirapikan, kuli dibayar Rp 35.000. 

Untuk proses pembakaran dimana batu bata ditata kemudian dibentuk menjulang tinggi, ia juga dibantu oleh beberapa orang dan biasanya, ada 6-12 orang tergantung banyaknya bata yang akan dibakar. Untuk setiap pembakarannya ia memberi upah Rp 50.000 per orang. Tak berhenti disitu, setelah batu bata matang ia juga memperkerjakan orang untuk kemudian menata batu bata agar mudah dihitung dan juga pembeli bisa langsung membawanya.

Karena tidak setiap bulan ada pembakaran, ia mengaku harus pintar-pintar mengatur hasil penjualannya. Untuk setiap hasil penjualan yang diperoleh, Ia harus menyisihkan sedikit untuk modal selanjutnya seperti membeli tanah liat, kayu untuk pembakaran, gaji kuli, dan juga membeli sekam padi. “setiap satu kali pembakaran, saya bisa membakar kurang lebih 30 ribu bata bata, dan itu membutuhkan waktu pembakaran kurang lebih dua minggu, dan dalam dua bulan, bisa dua kali pembakaran. 

Namun untuk saat ini cuaca yang agak kurang menentu, satu kali pembakaran sudah bagus” katanya. “Untuk setiap satu kali pembakaran, penghasilannya ya sekitar 15 juta an, tapi itu juga harus dipotong untuk membayar kuli, dan juga saya sisihkan untuk digunakan membeli bahannya” lanjutnya.

dokpri

Ngadiman menceritakan dari usahanya ini ia dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk keluarga dan dapat menyekolahkan anak-anaknya kejenjang yang lebih tinggi. Dituturkannya usaha ini sudah ia jalani selama kurang lebih 30 tahun. Dari lamanya ia menggeluti usahanya ini, ia semakin paham bagaimana cara menghasilkan batu bata yang bagus. Seperti mengira-ngira bayaknya sekam rambut yang dibutuhkan untuk dicampur dengan tanah liat, dan proses pembakaran dengan hasil merata.

Usaha yang digelutinya sejak muda ini, tidak selalu berjalan baik. Adakalanya ia mengalami kerugian seperti bata yang terkena air hujan. Apabila rusak sedikit ia akan tetap mengambilnya, namun apabila kerusakannya parah seperti hancur ia akan mencetaknya ulang. Ia pun menceritakan bahwa ia pernah kehilangan banyak batu bata karena batu bata yang belum dibakar terkena banjir. 

“Dulu di tempat yang lama, bukan disini, batu bata terkena banjir dan itu sudah hancur lebur. jadi ya rugi bahan, rugi tenaga. lalu saya memutuskan untuk pindah kesini karena kan jauh dari sungai juga.” Katanya. Hal lain juga terjadi seperti bata yang blengket (menempel) dalam proses pembakaran juga membuat ia sedikit merugi. Lantaran bahan-bahan untuk proses pembakaran juga sedikit mahal. “Untuk batu bata yang blengket biasanya ada yang beli walaupun harganya jauh lebih murah, tapi Alhamdulillah tidak rugi terlalu banyak”.

dokpri

Musim yang tidak menentu seperti saat ini, diakui ngadiman sedikit memperlambat usahanya,  karena mempengaruhi proses pembakaran dan juga pengeringan batu bata. Jika pada musim kemarau bata bisa kering dalam dua hari, di musim penghujan membutuhkan waktu lama untuk pengeringannya yaitu bias sampai 5 hari. Selain itu Jika pada musim kemarau proses pematangan batu bata dapat berjalan cepat yaitu sekitar 2 minggu, saat musim penghujan pembakaran hingga proses pematangan bisa sampai 20 hari. “Untuk musim seperti ini agar pembakaran tetap dapat dilakukan saya membeli batu bata yang belum matang dari orang lain, untuk kemudian saya gabung dengan milik saya” tuturnya. “Kalau tidak seperti itu ya lama mbak, dan malah tidak ada pembakaran…”

“Kan kalo ada pembakaran bisa ada hasil, bisa digunakan untuk modal selanjutnya , dan juga tempatnya ini kan bukan milik saya, jadi tiap tahun harus bayar biaya sewanya.” lanjutnya. Untuk penjualan batu bata, Ngadiman sudah mempunyai beberapa pelanggan yang kemudian akan menghubunginya ketika membutuhkan batu bata. Kebanyakan dari mereka merupakan dari toko bangunan yang kemudian dijual kembali. “kalau ada batu bata yang sudah matang dan ditata, biasanya langsung menelfon, menanyakan sudah ada atau belum. Terus  langsung kesini mengambil batu bata. Dan untuk yang beli tidak hanya dari daerah Pati saja, ada juga dari Jepara, Kudus.” Jelasnya.

Menurut Ngadiman, selama pandemi seperti ini, usahanya tak begitu berdampak. Hal ini seperti beberapa bulan yang lalu, harga batu bata mengalami kenaikan yang cukup drastis, tidak seperti pada bulan sebelum pandemi. Bahkan diakuinya harga tersebut merupakan harga paling tinggi yang pernah ia berikan kepada pelanggan. Bukan tanpa alasan, ia menjelaskan harga batu bata bisa tinggi karena bahan pembuatan yang mengalami kenaikan dan juga batu bata yang matang tidak banyak dan permintaan batu bata meningkat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline