Lihat ke Halaman Asli

Reforma Agraria Terganjal PKS dan Hatta Rajasa

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14027017581352734119

[caption id="attachment_328913" align="aligncenter" width="546" caption="http://nasional.kompas.com/read/2014/06/13/1915236/Bertemu.Jokowi.Petani.Keluhkan.Kelangkaan.Pupuk.dan.Hama"][/caption]

Saat berkunjung ke Desa Gentasari, Jokowi mendengarkan keluhan kaum petani tentang langkanya dan tingginya harga pupuk. Yang, melonjak dari Rp 80.000 menjadi Rp 120.000. Keluhan lainnya adalah serangan hama. Semuanya itu menjadi faktor utama bagi menurunnya hasil panen, yang dulunya mampu menghasilkan tujuh ton gabah kering giling. Kini, maksimal hanya mampu menghasilkan lima ton (Kompas, 13/5).

Dalam platform ekonominya, Jokowi mengakomodir permasalahan di atas, ke dalam Reforma Agraria dan program kepemilikan tanah sebesar 9 juta hektare bagi Petani (Liputan6, 13/6).

Pertanyaannya, kenapa Reforma Agraria melempem di jaman SBY?

Sebagai Menko Perekonomian saat itu, Hatta Rajasa, adalah yang paling bertanggung jawab terhadap tergerusnya lahan pertanian akibat perluasan sektor tambang. Hatta Rajasa, semestinya mampu membuat kebijakan yang membatasi penggunaan lahan pertanian bagi sektor lainnya. Sebagaimana dinyatakan, bahwa sektor pertanian adalah penggerak perekonomian bangsa. Namun, pada kenyataannya, Hatta malah memanjakan sektor pertambangan. Yang, pelaku utama di sektor tersebut adalah pihak asing dan Aburizal Bakrie. Hashim Djojohadikusumo juga menjadi pelaku utama di sektor pertambangan, yang karena satu dan lain hal, terpaksa memindahkan lahan usahanya ke negara lain.

Selain mayoritas dimiliki asing, sektor pertambangan juga telah mengeruk bumi kekayaan Indonesia, tanpa sedikitpun memberikan manfaat kepada sebagian besar rakyatnya. Seperti yang dilansir (Kompas, 23/5),

KPK: Potensi Kerugian Negara di Sektor Minerba Mencapai Rp 50 Triliun

Disebutkan, potensi kerugian negara tersebut, utamanya disebabkan semakin berlarut-larutnya proses renegosiasi kontrak pertambangan. Padahal, sesuai amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, proses renegosiasi kontrak tambang, selambat-lambatnya harus sudah diselesaikan pada 12 Januari 2010. Disitulah, kerugian yang harus diderita negara, karena dasar perhitungan besaran penerimaan royalti masih menggunakan skema dengan tarif yang lama.

Hatta Rajasa, yang ketika proses renegosiasi, menjabat sebagai Ketua Tim renegosiasi Kontrak Tambang, dituduh sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas molornya proses renegosiasi kontrak tersebut. Sehingga, mengakibatkan kerugian negara sebsar Rp 50 triliun. Hatta, boleh saja berlindung di balik ruwetnya birokrasi yang menghambat proses renegosiasi. Namun, berlarut-larutnya proses renegosiasi, hingga memakan waktu 4 tahun lebih, sulit menepis anggapan orang, bahwa telah terjadi permainan uang dalam proses tersebut.

HR "Main Mata", Negara Rugi Rp 12,8 Triliun

Selain sepak terjang Hatta, praktek yang mengganjal terwujudnya Reforma Agraria terjadi di Kementerian Pertanian, yang dipimpin Suswono, Kader PKS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline