Lihat ke Halaman Asli

Birokrasi Moral Defenitif

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Birokrasi Moral Defenitif

Sebuah cerpen oleh Prabu Ayunda Sora

“,… Ini sudah kali yang kedua kukalahkan dua ekor setan itu. Sudah Sejak lama, entah kapan tau, mereka slalu hadir dalam tarik hembus nafasku, degub jantung dan nadiku, serta lalu lintas darahku. Tapi baru kemarin aku terjaga oleh pesta pora mereka.”

Bermula dari keputusanku untuk tidak lagi setia kepada sunyi, pada hari di mana para malaikat meninggalkan sepucuk surat wasiat padaku. Tapi sudah dapat terlambat, sudah lebih dulu perpisahan terucap kepada sang sunyi. Hingga surat wasiat itu terbawa angin serta debu menuju muara tak ada pasti.

Tak juga kulangkahkan kaki. Aku cemas, ragu, sebab kerap hadir bayang-bayang sunyi di tengkorak kepalaku. Sejak hari sepeninggal sang sunyi, tumpuk harap berkecamuk dalam rasaku, sampai-sampai aku tak sadar sejak tadi siang aku menanti kembalinya sang sunyi hingga petang di beranda peradaban tua.

Menjelang petang di beranda peradaban tua itu, aku tersadar oleh suara bisik-bisik halus yang membelai bulu-bulu halus di permukaan daun telingaku, belum sempat aku kepikir, bisik-bisik halus itu menghilang, hal demikian itu menegaskan kembali perihal sang sunyi yang telah dapat pergi dan tak dapat tentu kembali. Kutimbang-timbang perihal lamunku barusan tadi, sampai kerja pikirku memeberi kabar bahwa ini kala transisi,… “Tunggu dulu,…!!” sekejap saja kerja rasaku menampik kerja rasa pikir itu.

Tentu saja!! demikian tampiknya, sebab Dialah satu-satunya suara yang menentang keputusanku untuk tak lagi setia kepada sunyi. Ia selalu menasihatiku dengan sembari bernarasi perihal kisah-kisah lampau.

“Pernahkah kau berusaha sungguh keras untuk coba mendengar gemuruh gelombang merah putih terkawal bagai rupa manusia yang menyatu jiwa di Ikada? Pernahkah sungguh keras kau coba?”

“Aku tahu itu, tapi aku terlahir prematur dari rahim sejarah yang tak mendapat restu dari Ibu Pertiwi. Seharusnya kau pertimbangkan juga itu.”

Bagai gerombolan srigala yang bergairah oleh bau darah, bisik-bisik halus di telingaku terus bertepuk sorai atasku, akupun merasa peroleh kemenangan atas berhasilnya kutanpik naskah tentang kisah lampau itu. Sementara sang sunyi tak memberi reaksi, hanya menatap parau ke arahku, lalu perjalanan Ia lanjutkan.

“Kau kalah dengan ketakutan, kau lemah, jangan kau salahkan kelahiran, sebab kematianlah yang berhak atas perkara demikian.”

“Tahukah kau apa yang diberikan oleh para malaikat itu?”

Tetap saja Tanya itu mengemuka olehku, padahal aku mengerti bahwa Ia satu-satunya yang bersaksi atas keputusanku untuk tak lagi setia pada sunyi. Ia juga bersaksi atas kepergian sang suyi.

Kembali tepuk sorai bisik-bisik halus itu bergetar di telingaku, tapi tak juga dapat kuterjemahkan. Bisik-bisik itu menari-nari di atas jalan pikirku, tapi tak juga dapat kuterjaga.

Sang sunyi semakin jauh melangkah pergi. Aku dikoyak-koyak bisik-bisik itu. Perlahan kucoba terjemahkan, tapi kerap saja mereka berhasil mengelabuhi. Aku terus melangkah sepanjang lorong peradaban tua itu, setelah beranjakku dari berandanya, setelah usai sementara debatku dengan sang rasa.

Kucoba menemu sebanyaknya sekutu sepanjang lorong peradaban tua itu. Sampai sekian waktu berlalu tak juga kumenemu. Tiba-tiba aku diperhadapkan dengan persimpangan pada lorong itu, aku tak sempat memilah, langsung ke kiri jalan ku berhalu waktu itu.

“…Cepatlah,…!!!” tiba-tiba bisik-bisik itu menyeru. Aku berlalu saja. Tak kutahu apa yang memacu, aku hanya berlalu. Sehabis seru bisik itu, dari kejauhan samar-samar kulihat keramaian yang sangat asing baunya bagiku. Langkah terus kupacu. Semakin kupacu, semakin ku mendekat dengan keramaian itu, beberapa waktu sampailah aku. Tak asing bagiku bentuk-bentuk tubuh itu, bincang-bincang itu, bau mereka itu, tak asing bagiku ragan warna itu, juga suara-suara itu. Sesampainya aku, aku pun dijamu.

Ragam hidangan tersaji dihadapku. Aku lelah, aku takut, aku lemah, aku membusuk di bawah bayang-bayang semua itu. Tak lagi kutimbang-timbang, langsung kulahap ragam hidangan itu. Sang rasa menggoyang-goyang jantungku, Ia terus berseru.

“Siapa mereka itu? Tak seharusnya kau lahap ragam hidangan itu! Bagaimana kalau itu racun, atau jebakan, atau…”

“Diam kau!! Seandainya ini racun, ini racun yang manis. Seandainya ini jebakan, tak jadi soal, bukankah sejak kepergian sang sunyi telah kuserahkan hidup untuk persekutuan-persekutuan peradaban tua.”

“Tak sepantasnya kau membusuk seperti itu.”

“Diam sajalah, kau!!”

Kulanjutkan lahap ragam hidangan itu. Bisik-bisik di telingaku beri gemuruh tepuk sorai, kembali aku merasa menang atas keributan petaka barusan. Lambungku penuh, sesaat lalu sedikit-sedikit kuperhatikan polah mereka, ada yang mengganggu sisa kesadaranku, tapi belum juga kutahu waktu itu. Terus saja kusantap hidangan itu. Mulutku terus melahap, sampai lambungku menyerah untuk kesekian kalinya, aku pun berhenti. Tubuh kusandarkan pada tembok angkuh peradaban tua itu, sekejap saja tulang punggungku disergap dingin tembok itu, sampai-sampai beku sum-sum tulang belakangku, merapuh, tapi tak juga ku beranjak, sebab pada penuh lambungku memberi malas, serta tajam tatapku penuh tertuju pada gerombolan tubuh itu, suara-suara itu, ragam warna itu, bincang-bincang itu,… mereka itu.

Sesaat bersamaan, serentak mereka menoleh ke arahku, menatapku. Aku terpaku, kikuk, hilang bentuk. Sekejap saja hening pesta pora barusan. Sekejap saja tak ada bincang-bincang, suara-suara itu menghilang, tubuh-tubuh itu memaku, sekejap pula ragam warna itu menjelma menjadi satu,… seragam. Aku yang semenjak barusan terpaku, tiba-tiba digoncang sadar, sadarku oleh wajah-wajah itu.

Wajah-wajah itu sangat tak wajar bagiku, tak berbentuk, rata. Tak bermulut, tak berhidung, tak pula bermata, semua sama. Aku mendadak bangkit dari sadarku pada tembok peradaban tua itu. Perlahan, berangsur, menghilang rasa dingin yang memberi beku sum-sum tulang punggungku.

Sejenak aku menunduk untuk kumpulkan keping-keping sadarku yang terkoyak-koyak oleh bisik-bisik halus itu. Tapi tiba-tiba saja bau-bau itu menajam di indra penciumanku, akupun menengadah. Rupa-rupanya, tubuh-tubuh yang berwajah tak berbentuk itu telah merubungku, menyergapku, hingga sesaat kemudian melumpuhkanku, berkuasa atasku, atas sadarku, atas naluriku.

Mereka meremas jantungku, mencabik hatiku, mengoyak lambungku, menjarah menyandera jiwaku. Oleh mereka secara brutal paksa memenjara aku. Akupun menyerah untuk memeberi deklarasi persekutuan bagi mereka.

Ini waktu barusan, masih tersisa keeping-keping sadarku yang memberontak tak ada arti, berteriak, memanggil-manggil bayang-bayang sang sunyi yang sekejap barusan berkelebat di hadapku. Percuma!!. Sang rasa yang berhasil sembunyi terus menampar-nampar wajahku, bermaksud menjaga setengah sadarku dan terus saja Ia berseru.

“Demi nafas sekalian negri, bangunlah, bangunlah kau!! Telah kulihat kedatangan dua sosok makhluk yang sejak turun dari kereta yang mereka tumpangi terus beringas menatap ke jantung serta hatimu. Bangunlah, kau,… bangunlah,… bangun!!”

Aku tak sanggup, aku kalah, aku hilang bentuk, aku hancur, aku perlahan membusuk. Tak lagi ku jawab seru sang rasa. Sepenuhnya telah dapatku persekutuan dengan mereka yang berwajah tak berbentuk itu, penghuni pinggiran jalan-jalan tembok dingin peradaban tua itu.

Tepat sekali apa yang terkabar oleh sang rasa. Aku saksikan samar-samar dua sosok makhluk hitam, berjubah hitam pula, muka tanpa bentuk, membawa serta api pada tangan-tangan mereka.

Siapa sebenarnya dua sosok makhluk ini. Merekakah penghuni istana di balik tembok dingin peradaban tua itu?! Merekakah yang berkuasa atas wajah-wajah tak berbentukyang menjamuku dengan ragam hidangan barusan?! Merekakah sang malapetaka yang kerap kali dikisahkan oleh sang sunyi setelah kepergiannya?! Belum sempat aku menarik simpul atas kerja pikirku, dua makhluk itu sudah berkuasa atas tarik hembus nafasku, degup jantung dan nadiku, atas lalu lintas darahku. Perlahan kuasaku atas sadar menghilang.

Sangat samar, sayup-sayup masih terdengar olehku seru sang rasa, tapi apa yang dapat kubuat?! Sebab, bahkan air liurkupun tak mampu lagi mengecap rasa dunia. Mereka berkuasa atas nafasku. Sesaat kemudian aku diarak mereka, entah kemana. Menelusuri jalan-jalan sepanjang tembok dingin peradaban tua itu. Aku merasa melayang-layang di udara, sang rasa terus berjarak denganku, Ia masih sembunyi pada desir tulang kerongkonganku, untuk sesaat ini waktu Ia belum dapat berkutik.

Aku terus membusuk sepanjang arakan mereka, sampai tiba pada pintu gerbang besar yang terbuka oleh tiup wajah-wajah tak berbentuk itu. Di balik pintu gerbang itu terlihat olehku ruang teramat luas, nyaris tanpa bayang-bayang batas, sebab kabut seolah rimba bergelantung atas segenap luas ruang itu. Mereka terus mengarakku menembus kabut. Seusai rimba kabut, terlihat olehku dinding kokoh yang berpintu banyak, teramat banyak. Tak sanggup tak sempat kumenghitung waktu itu.

Aku diarak memasuki salah satu pintu. Sesaat kemudian mereka lemparkan aku pada salah satu ruang yang terdapat hanya pintu, dan pintu. Setelah melemparku, perlahan mereka beranjak ke arah yang berbeda, memasuki pintu-pintu yang berbeda. Perlahan habis mereka dari hadapku. Aku sendiri menghadap waktu.

Hari-hari mulai kujalani. Aku coba menelusuri pintu-pintu itu, aku hanya menemu kertas-kertas usang bertebaran, lalu kumakan sebanyak yang kubisa, sebab aku khawatir banyak kertas itu akan menguburku, sebab terus saja banyak kertas berjatuhan dari atas pada tiap ruang, seperti daun berguguran oleh kemarau panjang.

Mereka berhasil memperbudakku, setelah deklarasiku atas persekutuan abadi kemarin waktu itu.

Terus saja kumakan banyak kertas itu. Kukunyah, kulumat, kutelan. Detik-detik waktu bersaksi atas nafasku yang terus membusuk. Tak lagi kudengar kabar tersiar dari sang rasa. Hanya bisik-bisik halus terus menebar petaka. Kertas-kertas usang telah menumpuk setinggi perutku, mengubur separuh tubuhku.

“Adakah harapan?! Yang memberi motifasi, dorongan pada kerja hidup paling alami?! Masihkah?!”

Tiba-tiba saja terdengar olehku, tertangkap olehku suara. Suara ini sangat intim pada keping jantungku, aku mulai sungguh keras berusaha mengenal suara itu.

“Siapa kau? Berkenankah kau tunda petaka yang membusukkan nafas serta lambung ini? Berkenankah , kau?!

Tak juga ia menyahut. Tapi suara itu terus saja membelai nafasku, jantungku. Serta-merta suara gaduh meledak dalam nafasku, merambat terus ke paru-paru, jantung hatiku, sepanjang lalu lintas darahku, sekejap saja gaduh itu telah bersemayam atas sekalian tubuhku.

“Siapa kau?!” seruku. Tapi hanya menambah keras gemuruh gaduh itu. Aku masih terus sungguh keras berusaha mengenal suara itu. Sesaat Ia berseru.

“Motif,… motif,… ada dua. Apakah yang lebih berharga dari sunyi yang kerap beri timbang atas kerja pikirmu?! Motif,…motif,… ada dua. Kau harus berusaha sungguh keras untuk kenali dasar hadir atas keduanya.”

“Aku telah deklarasikan persekutuan. Aku terus membusuk, hilang bentuk.”

“Kau hanya butuh sungguh keras coba kembali deklarasikan diri. Dan tahukah, kau?! Itu artinya peperangan!”

Aku berhenti melumat banyak kertas usang yang terus saja menghambur dari atasku. Aku terdiam. Aku coba kembali sungguh keras berusaha mendefinisikan moralku, berperang atas bisik-bisik petaka itu. Tapi aku tak menemu ini waktu.

Sekian waktu berlalu. Disiplin moralku karam oleh busuknya nafas, lambung, jantung hati, serta sepanjang lalulintas darahku. Sekian waktu berlalu, disiplin moralku kerap kalah atas bisik-bisik halus yang bertahta atas petaka takdir.

“Kaukah itu malaikat takdir? Mengapa kau hadir baru sekarang? Setelah aku membusuk oleh dingin dinding peradaban tua ini, mengapa?!”

Tiba-tiba saja terdengar olehku pesta pora bisik-bisik halus itu. Gemuruhnya menyadarkanku, membuat semakin usang kisah-kisah lampau, yang dulu kerap tersiar oleh dia sang sunyi sebelum perpisahan kami. Tiba-tiba suara batin itu berseru :

“Kau harus mencari, menemu surat wasiat yang dulu pernah kau terima dari para malaikat takdir. Pada surat itu kau akan menemu jalan merintis jejak takdir kepergian sang sunyi. Cobalah!”

“Bagaimana aku bisa, Sedang aku terus saja membusuk di sini. Bagaimana?!”

“Kau belum mulai berperang. Sekali waktu itu kau hanya mendefenitifkan disiplin moralmu, kau tak berhasil mendeklarasikan kembali dirimu. Kau gagal itu waktu.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Motif,… Motif,… ada dua. Apakah yang lebih berharga dari sunyi yang kerap beri timbang atas kerja pikirmu?! Motif,… Motif,… ada dua. Nafaskah atau serapahkah, dasar hadirnya?! Jika kau pilih yang pertama atas sadarmu, ini artinya peperangan, berusahalah sungguh keras atasnya!!”

Ini sudah kali yang kedua ku berdamai tanpa peperangan dengan dua ekor setan itu. Senyatanya, disiplin moralku tak mampu taklukkan takdir petaka yang mereka bawa. Aku terus saja membusuk atas dasar hadir motif sumpah serapah yang kupungut, telah berlangsung lama tanpa sadarku. Oh,… sang sunyi, kembalilah, aku butuh kau untuk akhiri ini.

Yogyakarta, 2011

Naskah Kumpulan Cerpen, “Yang Terpungut dan Yang Musnah”, Karya Prabu Ayunda Sora.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline