______________________________________________________________________________
Panggung tampak bercahaya ungu, dengan banyak sisir – sisir dan ikan – ikan asin yang bergelantungan.
Sedangkan di tengah – tengah nya ada pakaian kemeja yang sangat eksklusif, tergantung dengan mannequin lelaki, namun kebawahnya hanya memakai celana dalam saja, dari dalam celana dalam tersebut menyembul pohon kaktus di tengah – tengahnya merobek celana dalam tersebut.
Pot – pot pohon kaktus tampak mengelilingi latar lantai.
Perlahan – lahan ada bunyi mesin – mesin pabrik, namun bunyinya sungguh lucu seperti digubah dengan nada – nada do re mi fa so la si do.
Perlahan – lahan lampu mengarah pada seseorang yang berbaju batik, dengan rok mini yang sangat pendek, tampak stagen dikenakannya di luar. Rambutnya digimbal rasta dan mukanya tampak terlihat kuning pekat, memakai kaos kaki bergambar donal bebek.
Tampak dia sedang memeluk- meluk mannequin tersebut dari belakangnya.
Wanita tersebut bernama “ Hani Mun “ .
______________________________________________________________________________
Why do you love me so kind and tenderly… yehuhuhuhu why do you love me so kind and tenderly..
Oh ada apa denganmu, kau enggan ku peluk lagi kah.. oh kau pria.. aku masih ingin menerjang badai rayumu, lelah cumbu dan gombal priamu..
Jangan lekas pergi, tuntaskan.. tuntaskan…
______________________________________________________________________________
kemudian Hani Mun berjalan perlahan – lahan sambil menggerayangi leher mannequin tersebut.
______________________________________________________________________________
Ada apa kau , akulah racunmu yang tak bertepi, aku robocop di malam hari, gundam tanpa ikatan
Mari petik umbul – umbuk di sela – sela busuknya keringatmu.
______________________________________________________________________________
Kemudian Hani Mun mendekati ikan – ikan asin yang bergelantungan mendekati wajahnya kemudian dia mendekat, lalu dia pun menyisir rambut gimbalnya dengan menggunakan sisir yang tergantung
______________________________________________________________________________
Bau asin mas, tapi renyah. Gurih dan anyep..
______________________________________________________________________________
Perlahan – lahan dia menggigiti ikan asin tersebut, dilumatnya hinga habis
______________________________________________________________________________
Malam – malam selalu saja ada musang, musang – musang yang meloncat di balik celana.. lalu kutangkap hap…
Hem blomoh blomoh….
______________________________________________________________________________
Lalu Hani Mun berjalan ke tengah panggung, mendekati para penonton
______________________________________________________________________________
Hei , ku rasa ada yang bersembunyi di balik patung itu..
_____________________________________________________________________________
Hani Mun menunjuk mannequin lelaki berkemeja.
______________________________________________________________________________
Rasanya ada yang menyelinap di setiap tubuh wanita, dia bergerak – dia bergerak,kemeja – kemeja bergaris hitam, dasi – dasi berwarna merah , parfum … oh… ada yang meneror di setiap lengan – lengan kokoh .. leher. oh leher berkalung, dada berbulu, ah mereka berbicara mereka berpuisi..
Master… mister.. musketeer.. ohhh
Ah, aku ingin menjambak payudaramu
______________________________________________________________________________
Hani Mun tersadarkan dan dia kembali menerangkan peristiwa
______________________________________________________________________________
Begitu bisik patung itu, ah dia mati ,kaku tanpa hasrat, apalagi nafsu memburu..
Tapi ah dengar..
Sini nona biar kupagut, lembah murammu.. dibalik celana dalamu yang mulai memerah, basah dan menggenang itu,aku merasa mulai melihat tanah yang kering, gerah dan gundah.
Nona cepat tuntaskan, hasrat seni ku begitu meletup malam ini, segera nona.. cepat buka !
Ah bumi mengapa tanahmu berjumpalitan, bagai hutan yang merongrong meminta sejenak untuk dielusi hingga pulas.
Bagai ular yang perlahan – lahan menguliti kulitnya, dikuliti oleh kulitnya .. terkuliti, ah kulitmu mas berbulu, mas.. ya itu mas , ah
Ah ..
Tajam.. menusuk, runcing…. Ya aku ingat
______________________________________________________________________________
Hani Mun kemudian mendekati mannequin tersebut kembali, dia menunjuk Kaktus yang menyembul dari balik celana dalam mannequin
______________________________________________________________________________
Lihat, tentakelnya runcing, sangat estetik, menggelitik oh aku gadis .. sadis, munafik.. munafik.. tengik
______________________________________________________________________________
Kemudian dia mengelurkan pisau dari balik baju batiknya.
Dia memotong kaktus itu pelan – pelan perlahan.
Sambil menyanyikan lagu “ I REMEMBER “ dari grup band “ MOCCA “, dia memotongnya dengan sangat hati – hati.
Kemudian dia memasukkan bagian kaktus , yang sudah terpotong tanpa duri itu ke dalam mulutnya
Lama – lama dia muak lalu dimuntahkannya
______________________________________________________________________________
Ah sama saja lalu berapa lagi..sungguh serupa…bangsat ..KW 100 , loak, motif bawah perut !
______________________________________________________________________________
Kemudian dia menjadi tidak terkendalikan, dia memotong motong kaktus – kaktus yang ada di bawah latar lantai dengan penuh amarah.
Sembari dia emut satu –satu potongan potongan kaktus tersebut kemudian dia muntahkan lagi.
______________________________________________________________________________
Runcing, tajam, perut membuncit
Ah lihat tapi aku telah mempersiapkannya jauh hari, lilitan kain ini memaksa perutku untuk tetap segar dan terlihat perawan… pantatku belum tampak mengembang, pinggangku seperti raden ayu , dan yang di bawah ini ibarat muntahan mesin molen di pabrik – pabrik, memutar dan mengelu dalam irama jantung pria.
______________________________________________________________________________
Kemudian dia pergi ke suatu arah, seperti mengingat – ngingat sesuatu yang sangat klasik
______________________________________________________________________________
Upik pernah berkata kepadaku, satu waktu ketika kami sedang selonjor nyantei di pinggir kali ciliwung
Apa yang ada di pikiranmu ketika melihat kemalauan anton mun, memperhatikannya perlahan - lahan menegang menjadi keras, lalu seperti belantara hutan kau pun tertantang untuk menjelajahinya dalam – dalam, apakah begitu nikmatnya mun ?
Nikmatkah mun ?
seperti ketika kau mengetahui bahwa ibumu tidak pernah mengharapkan kau lahir.
Ah tahu apa kau, tidak upik kau tak akan tahu apa yang tersembunyi di balik maksud seorang seniman, mereka mampu mereka – reka dan menyembunyikan maksud yang tak gampang kita ketahui..
ada kelembutan terselebung di balik kecambah janggutnya yang tajam dan kasar
“ Dia seniman yang melukisku dalam halu eros tanpa ayal memburuku hingga puncak tanathos “
Kau membisikkan kalimat itu dengan lebam biru di ujung pelipis mata, dengan linang air mata yang tak kau sanggup tahan..
“ Mun, hidungmu bengkok “
Husss... dia seniman yang cenderung berdiam tenang, sahaja dan tulus , dia tidak suka bersikap pamer.. pik
______________________________________________________________________________
Kemudian Hani Mun mengelus – ngelus perutnya sendiri, sembari mengingat – ngingat sesuatu dia menjadi begitu sedih dan ngilu.
______________________________________________________________________________
“ Pik, ibuku.. ibuku.. “
“ Bapaku siapa pik ? “
______________________________________________________________________________
Dia melihat – lihat ke balik dalam stagennya, namun Hani Mun tidak mendapatkan apa – apa.
Hani Mun berjalan – jalan terhuyung di antara Pohon – Pohon kaktus yang dia tendang tendangi
Kemudian dia mengambil salah satu sisir tersebut.
______________________________________________________________________________
Pik kepalaku pusing, pik
tapi aku ingat..
Aku ini terlahirkan dari daging manusia bukan dari pelepah melon, atau adonan jus jambu.
Tapi dia, chef master kelahiranku, pergi lalu mengolah bumbu - bumbu kelahiran di berbagai tempat , semudah membuat jus jambu.
______________________________________________________________________________
Perlahan – lahan dia menyisir rambut gimbal nya tersebut.
______________________________________________________________________________
“ kau pernah mengatakan bahwa lelaki adalah bongkahan batu stalaktit di gua – gua sunyi, membuat kau merinding, sepi, terangsang sekaligus takluk.
______________________________________________________________________________
Kemudian Hani Mun, memperlihatkan wajahnya yang sangat mengerikan namun mesra dan dia berkata perlahan – lahan namun sungguh menyakitkan
______________________________________________________________________________
“ Lelaki adalah seniman pik “
Mereka menumpahkannya, seperti semua lelaki lainnya yang melukiskan nafsunya di atas tubuh ibu.
Mereka mengukirnya seakan menggerus lekuk tubuh ibu di setiap malam – malam yang mendengus, pekat dan redup selalu berada dalam ambang lenguh dan peluh.
lelaki – lelaki itu berbulu, berbulu tipis.
lelaki yang sigap membalikan badan ibu dalam sekali ucap .
Ah Ibu, mataku melihatmu ada di sini, ah perutku aku melihat ibu ada di sini
Ah ibu melihat perut, aku membenci perut
______________________________________________________________________________
Hani Mun kemudian berteriak – teriak tidak terkendali, dia terjongkok kosong. kemudian dia perlahan – lahan berjalan dengan merangkak mendekati bawah celana dalam mannequin, dan dia pun membuka celana dalam mannequin tersebut.
Tampak boneka Barbie yang tergantung di kemaluan mannequin.
Hani Mun mengunyah – ngunyah kaki – kaki boneka tersebut dengan rakus.
Tiba – tiba dia mengganas.
Lalu dia jatuhkan mannequin tersebut, kemudian dia menaiki di atas badan mannequin tesebut
______________________________________________________________________________
Om, aku pun sudah cukup lembap.. maukah kau mengguyurku dengan keringat masammu, om.. aku pun sudah cukup matang.
Om buahi aku..
Rajah aku..
“ Ah.. Aku ingin menikahi semua seniman pik.. “
______________________________________________________________________________
BLOMOH OCOH
RIYADHUS SHALIHIN
_ 2011 _
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H