Lihat ke Halaman Asli

Book Resume Cultural Studies and The Study of Popular Culture Teori and Methods John Storey

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Judul Asli:Cultural Studies and The Study of Popular Culture
Judul Terjemahan   :Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop
Penulis                       :John Storey
Penerjemah             :Laily Rahmawati
Penerbit                    :Jalasutra, Bandung & Yogyakarta
Cetakan                     :1 Januari 2007
Tebal                        :186 hlm

___________________________________________________________

Oleh ; Riyadhus Shalihin

PROLOG

Mempelajari sistematika kebudayaan di dalam ranah estetika mutlak diperlukan, sikap ini tidak lebih sebagai koherensi yang mutualistis dalam menyikapi kesenian di era kultural kontemporer. Era di mana lintang budayasemakin instan, berkembang. invasi teknologi yang mengintervensi kesenian terutama seni pertunjukan butuh dianalisa, diadaptasi bahkan apabila perlu dilakukan tindakan kurasi atas geliat dan gejala budaya yang semakin emansipatif berada di dalam ruang dan waktu yang temporal.

Apabila seni pertunjukan terutama Seni Teater menjadikan panggungnya alienatif soliter, bahkan asketis, maka depopularitas yang mengawasi Teater di era televisual akan terus membayangi. Asketisme itu akan menjadikan langkah pentas Teater yang apek, nostalgik romantis, basi juga pasif. Ketika teater berhadapan dengan berbagai praksis mega serta meta teknologis di sekeliling kita yang nyata dan semakin cepat perkembangannya.

Buku yang ditulis oleh John Storey secara ontologis berhasil mengenalkan introduksi manusia abad sekarang yang dirangkum secara struktural terperinci, menelaah gejala – gejala umum di ranah permukaan budaya hingga masalah yang tersembunyi dan berindikasi laten. untuk itu ketika buku yang memang menerapkan posisi pengamat sekaligus pelaku ini saya mendapatkan suatu wacana fundamen yang saya sendiri setiap hari mengalaminyadan bahkan mungkin saya menjalaninya, hanya mungkin secara tidak literer saja narasi – narasi empiris itu tercatakan.

John Storey begitu teliti mengadaptasi perilaku - perilaku masyarakat yang berkembang dan memadukkanya bersama dogmatikal teks filsafat, tidak membuat “ traffic literacy “ yang cukup menghambat, bahkan penerapannya amat terasa hangat ekuivalen. Yang menjadikan kesulitan dalam memahami buku ini hanyalah alih bahasa nya yang terlalu tekstual berdasar kaca mata inggris per kata, tidak ditafsir ke dalam bahasa indoensia yang lugas dan aktif.

TELAAH ISI

Storey mencoba melakukan abstraksi dasar dengan menyusun telaah budaya melalui bab per bab, dan resolusi menuju permasalahan dapat kita temukan pada pembukan di BAB 2, sedang BAB 1 hanya prakata dasar dari kebudayaan secara general sebelum kita dihadapkan pada kulturalitas yang sangat kontekstual berada di sekitar kita, namun tidak kita sadari meski kita melakukannya.

BAB

1

ABSTRAKSI BUDAYA

Hal – hal kebudayaan yang coba diterangkan oleh Storey di bab pertama ini tidaklah bersifat monotesis namun politesis, yaitu kebudayaan yang merangkap dan bertindak vertikal ke samping. Kebudayaan di sini hadir meruang dan bergerak bersama kondisi teknologis, politik, sejarah bahkan life style masyarakat di sekitarnya. tafsir kebudayan storey ini tidak menjadikan cultural studies sebagai sebuah perspektif tekstual di dalam ranah akademis estetika, yang elusif dan penuh perasaan, namun kebudayaan storey lebih bersifat matematis cultural, cenderung mempresentasikan peristiwa – peristiwa logis yang pada hari ini berkembang alamiah, naluriah nurtur di keseharian masyarakat.

Ahmad Sakhal, redaktur jurnal kebudayaan Kalam mengatakan sikap skeptifitas di dalam mewakili persepektif seni pada hari ini. mengenai kondisi linguistika cultural studies yang tidak intens terhadap persoalan – persoalan estetika, di sana para pengamat kebudayaan hanya bersikap essensiil “ isi “ dalam menaruh atensi mereka kepada hal – hal yang berbau estetis. di sana karya seni tidak dipandang sebagai formal bentuk namun langsung mereka persepsikan secara isi maknawi yang terkandung. maka apabila naskah teater Samuel Beckett yang secara estetis termasuk dalam gaya penulisan naskah “ absurd “ hanya akan dicurigai sebagai usaha reformasi seni untuk menginterupsi kondisi politik, teks drama Dario Fo hanya dinilai sebagai usaha kontra politis dari represikal rezim itali, namun secara formal panggung bahkan reformatifitas estetika yang dicapai oleh seniman seniman teater dalam berbagai aliran – aliran drama tersebut tidak akan mereka hiraukan. justifikasi dan kecurigaan para pengamat budaya literer akhirnya hanya akan mengafirmasi kencederungan estetik sebagai peristiwa “ non sens “ yang tidak terlalu riuh untuk diperdebatkan dalamruang diskursif kebudayaan.

Apabila boleh saya ambil sikap dikotomis maka lahirlah kritisisme kajian budaya literer terhadap sikap alienatif yang dihasilkan oleh para penggiat seni tinggi, budaya tinggi ataupun high art. apabila dapat saya relevansikan kembali dengan pernyataan Ahmad Sakhal, maka para pengkaji budaya memang hendak mengembalikan persoalan – persoalan kontemplasi reflektif dalam sebuah karya seni menjadi suatu budaya yang biasa saja dan berjalan bersama keseharian masyarakat yang distruktur.

BAB

2

TELEVISUAL SEBAGAI DECODING MAKNA

Pada bab ini Storey mengemukakan persoalan fundamental dari realitas televisi sebagai sebuah kebudayan “ baru “, apabila kasar saya mengatakan sebagai suatu kecenderungan teologis masyarakat konsumtif abad ini. Mengapa dikatakan demikian karena menurut validitas survey di buku ini yang menyatakan sekitar kurang lebih 3,5 milyar per jam dihabiskan oleh separuh masyarakat di dunia untuk menonoton televisi, maka tidak heran apabila akan

hadir tirakat – tirakat modis yang muncul begitu saja akibat sebuah acara reality show, life style dadakan dari fenomena artis tiba - tiba, atau bahkan sekte – sekte budaya yang ekspansif giat menjelajahi mall – mall agar secara virtual ikut merasakan sensasi yang dialami artis idola mereka.

Dalam mempelajari kecenderungan televisi dan fenomena yang diakibatkan olehnya Storey menggunakan teori “ Encoding and Decoding the Televisual Discource “dariStuart Hall. Bagaimana kelihaian para pemikat televisi itu membuat sebuah proses distributif yang saling bertransformasi berdasar teori yang diungkap oleh Hall tesebut.

Di sana para produsen audio visual mengambil tema – tema besar dalam bentuk tekstual yang disebut sebagia proses “ moment of encoding “kemudian mereka menjadikan teks teks mentah tersebut seakan lebih segar pra – pentas, yang disebut sebagai “ moment of text “, di mana segala hal – hal yang serius dalam bentuk teks sudah siap untk diproduksi menjadi lebih berwarna – warni, meriah dan variatif. setelah itu maka “ Moment Of Decoding “ ditampilkan yaitu di mana segala bentuk narasi narasi tekstual tersebut kini hadir dalam bentuk televisual yang memikat, menghibur dan menawan jutaan para penantinya di seluruh dunia.

BAB

3

POP YANG SEKSI, POP YANG FIKSI

FR Leavis dan Denys Thompson memperlihatakan resume kontestatif atas karya karya fiksi yang dianggap sebagai budaya “ kompensasi “ yang mengalienasi realitas fundamen dari kenyataan sosiologis, ontologis dan antropologis para pembacanya.

Pendapat itu mereka rangkai dalam buku “ Culture And Environment ” . pendapat pendapat pop sebagai fiksi yang mengalienasi apresiatornya pun ditegaskan kembali oleh pengamat kebudayaan Q.D. Leavis dalam buku “ Fiction and the Reading Public “, bahwasanya karya karya fiksi Dapat mengakibatakan suatu kecenderungan

“ maladjustment “ yaitu suatu sikap yang membuat seseorang tidak bisa beradpatasi, berhadapan serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

Para pemerhati kebudayaan tersebut menyepakati bahwa efek “ bius “ yang dihasilkan oleh karya karya fiksi yang menggigit, sekilas, dan fantastic tersebut menyebabkan tendensi psikis anti sosial daripada berbaur bersama ruang publiknya.

BAB

4

GLAMOUR NYA SEBUAH FILM

Pada bab ini Storey mengkaji kebaruan – kebaruan dari film pop yang hadir di tengah masyarakat kontemporer yang majemuk, dan kemudian apa imbas yang hadir dari film tersebut di dalam realitas kebudayaan keseharian masyarakatnya.

Storey membuat semacam koherensi data yang secara jamak telah banyak didiskusikan oleh para pengguat diskursus maupun para akademisi kebudayan, yaitu perubahan era filsafat struktural menuju post – struktural. Storey pun merelevansikannya dengan komparasi film di era struktural dengan era post struktural, kemudian konklusinya dia sampaikan grafik perubahan film di era cultural studies masa kini.

a. film di era struktural

Tendensi hierarkis di masa struktural banyak menghasilkan film – film yang bercitra dikotomikal gender, ras, suku dan agama. Studi Storey mengatakan pada era ini begitu banyak lahir film – film “ koboy “ dan petualang petualang yang amat becitra “ amerika “, kita mengetahui seperti film Rambo 1 s/d 3.

Ekspresi hierarkis ini lah yang menjadi ciri khas keperkasaan film – film strukturalis, di sana maskulinitas membelenggu dan menjadikan estetika kelelakian yang merindu untuk dielu – elu serta dipuja.

b. film di era post struktural

Sedangkan tendensi film di era post struktural adalah apresiasi para penikmat film sudah menjadikan tipikalitas yang tidak hanya bersifat konsumtif, kalaupun masih dikatakan sebagai penonton mereka tidak lagi bersifat pasif. Namun ketika film itu telah beredar didistribusikan dalam sebuah pasar bisnis maka para penikmat film berlaku sebagai produsen makna, apabila menurut Derrida “ semiositas estetik akan dibedakan dan ditanguhkan dahulu “.

Terjadi sebuah diskursif makna di antara para penonton ketika film itu hadir di ruang publik, namun Storey sekali lagi menegaskan bahwa peristiwa tersebut ternyata tidak saja menimbulkan aksen – aksen glamour yang mengalienasi kenyataan sosial masyarakat penontonnya. Richard Dyer mengungkapkan bagaimana film – film akhirnya memberikan fantastika utopis bagi para penontonnya yang pada waktu 2 jam para penikmat film tersebut seakan merasakan kehidupan glamour para selebritis Hollywood.

b. film di era cultural studies

Jack Stacey mengungkapkan penelitiannya di era ini, era ketika para penonton tidak lagi dianggap sebagai decoder monolitik sebuah teks. para wanita yang tersubordinasi sebagia objektifikasi film berperan ganda juga menjadi subjek yang menginvensi bahkan mengintervensi serta menginterupsi.

Tanpa perlu tersudutkan kepada perspektif feministik, namun kecenderungan film di era ini jamak mendedahkan pluralistika yang antipatif terhadap relasi – relasi homogeny, terutama dalam subkultur patriarkal para sineas Hollywood.

BAB

4

JURNALISME POPULAR

Colin sparks dan fiske menerjemahkan diferensiasi yang paling mendasar diantara pers berkualitas dan pers popular adalah pada kondisi penerimaan teks dan citra khalayak yang diciptakan oleh medianya. Bagi Sparks ataupun ianell pers populer cenderung melunakkan news – news yang berkembang menjadi sepenggal “ reportase fantastikal “ yang repetitif, cerewet dan bawel 24 jam hadir dalam ruang – ruang media, secara terus menerus. Menurut pandangan saya sendiri pemberitaan tersebut seakan “ daur ulang objek “ yang dibuat menggemparkan, ibarat sampah yang sudah busuk diangkat kembali kemudian dikeringkan hingga harum dan berharga kembali.

Di sana pers populer menjadikan preses pemberitaan tidak terlalu penting, namun khalayak yang diciptakan lah yang menjadi prioritas pencitraan yang nanti nya akan mereka bentuk secara diktatif, sedangkan pers kualitatif membentuk berita dalam realitas faktual, apa yang akan menjadi suatu komunitas atupun gambaran pembaca berkembang tanpa sepengetahuan redaktur maupun pemilik perusahaan media tersebut.

_____________________________________________________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline