Lihat ke Halaman Asli

Trans Studio Bandung dan City Branding Bandung

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya suka mal. Saya suka taman bermain. Saya terkesima dengan kota pusat hiburan. Saya punya cita-cita harus mengunjungi mal-mal terkenal di dunia. Saya bertekad untuk dapat bertamasya di Disneyland, dari mulai Disneyland Hongkong, Tokyo, Paris, hingga Amerika Serikat dan minimal suatu saat saya harus bisa nongkrong seharian di Universal Studio Singapura. Saya juga merencanakan satu hari dalam hidup saya, saya harus menghabiskan waktu di Las Vegas. Hmmm. Saya juga nggak tertutup dan antipembangunan. Saya juga pernah memimpikan Bandung, kota yang membesarkan saya sejak balita ini menjadi salah satu kota yang diperhitungkan di kancah persaingan globalisasi. Ah, tapi pembangunan Trans Studio di kompleks Bandung Supermal yang nanti akan dilengkapi oleh hotel berbintang itu sepertinya telah mengoyak perasaan saya. Apakah Bandung harus bertransformasi menjadi kota serupa kota global secepat ini?

Sebuah Kegiatan Bernama Pembangunan

Masih ingat masifnya pembangunan factory outlet di Bandung beberapa tahun lalu? Sesuai dengan buku Shopping Environment-nya Peter Coleman, factory outlet merupakan jenis pusat perbelanjaan yang menjadi khas daerah suburb atau pinggiran. Daerah pinggiran ini adalah penyangga daerah pusat kota yang biasanya menjadi pusat peristirahatan dan rekreasi pekerja di pusat kota. Dengan status factory outlet sebagai pusat perbelanjaan di daerah pinggiran, maka bisa kita simpulkan bahwa pada awal dekade 2000-an Bandung masih berstatus suburb dari pusat kota, yakni Jakarta. Ke-suburb-an Bandung ini sampai sekarang masih dijaga, dipertahankan, bahkan diperkuat, namun dengan cara yang agak ganjil relatif dari apa yang dirumuskan oleh beberapa pakar tata kota yang bukunya saya baca sebagai referesi skripsi. Bandung, si suburb yang telah menyangga Jakarta sejak Belanda bercokol di Jawadwipa ini tak hanya dihiasi oleh factory outlet, pusat kuliner, dan hotel, tetapi juga taman bermain dan beberapa saat lagi akan diisi oleh stadion olah raga besar serta pusat pertemuan (convention hall). Tiga hal tersebut (FO, stadion olah raga, dan pusat pertemuan) bukan hal yang biasa melengkapi kotasuburb. Mereka adalah pelengkap pusat kota atau downtown. Mereka biasanya didirikan di pusat kota yang telah matang secara infrastruktur dan menjadi pelengkap kegiatan ekonomi pusat kota. Ya, menurut koran Tribun, dua hal yang saya sebutkan terakhir masih dalam tahap rencana, namun untuk hal yang saya sebutkan pertama, kita semua sudah tahu bahwa taman bermain atau theme park sudah berdiri dengan gagahnya di daerah yang agak meminggir dari pusat kota Alun-alun dan Jalan Merdeka. Didirikan di bilangan Gatot Subroto yang diapit permukiman padat menengah ke bawah di daerah Kiara Condong serta kompleks militer dan permukiman menengah ke atas di seputar Turangga, Martanegara, dan Buah Batu, theme park milik pengusaha Jakarta itu akan menjadikan Bandung kota yang seolah-olah bertema urban dan rekreatif. Seolah-olah bertema urban karena memang pada dasarnya Bandung, dilihat dari kegiatan ekonomi, infrastruktur, dan keadaan masyarakat bukanlah kota bertema urban dan berciri pusat kota.Seolah-olah rekreatif karena pusat rekreasi yang dibangun disana bukan bagi orang Bandung asli. Semua untuk memenuhi kebutuhan rekreasikhalayak di luar Bandung.

Keganjilan dari penataan suburb dengan cara downtown akan menimbulkan pula kekacauan. Agaknya Bandung mengikuti salah satu strategi John Hannigan dalam bukunya, Fantasy City, yakni untuk menjadikan sebuah kota sebagai kota fantasi, pelibatan pada proyek megabesar adalah jalan pembuktian pemerintah di mata investor untuk meminta suntikan investasi lebih besar lagi dalam proyek lain. Bisa jadi pembangunan theme park, stadion olah raga, dan convention hallmerupakan salah satu strategi mercusuar untuk membuktikan kemumpunian Bandung. Naun demikian, di tengah kekurangmatangan infrastruktur suburb, proyek mercusuar tersebut malah akan menjadi bumerang. Dengan minimnya jalan raya, kacaunya jalur transportasi, dan wajah kemiskinan dan kriminalitas kota, monumen modernitas di sebuah kota malah akan menambah masalah teknis dan sosial. Pengaturan kembali jalur transportasi dan pengaturan wajah kota yang ramah bagi kegiatan turisme tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi polisi lalu lintas, dinas pariwisata, dinas perhubungan, dan dinas pekerjaan umum yang harus sibuk mengurusi masalah kemacetan lalu lintas, kesemrawutan kota, komplain turis, perbaikan jalan, dan pembuatan jalan baru, tetapi juga seluruh elemen kota yang harus menghadapi permasalahan sosial budaya dari masyarakat. Gegar budaya adalah keniscayaan. Kecemburuan sosial, apalagi. Bagaimana tidak akan cemburu sementara kesenjangan sosial melalui pembatasan pengunjung theme park dari harga tiket yang mahal sudah tercipta. Dalam buku-buku mengenai theme park yang saya baca, harga tiket yang mahal tidak bisa semata-mata dipandang murni sebagai penghitungan biaya produksi ditambah keuntungan. Ada unsur penyeleksian khalayak untuk menjamin keamanan status sosial tertentu yang terkandung dalam harga tiket. Dalam Theming of America atauCulture on Display, misalnya, pengarangnya menyebutkan bahwa jaminan ilusi keamanan berlebihan yang ditawarkan oleh mal dan pusat kegiatan hiburan lain seperti theme park membuat mal dan theme parkmengeksklusi keikutsertaan khalayak-khalayak yang tidak sekelas dengan khalayak yang mereka sasar sebagai segmen. Harga adalah hambatan ekonomi dan psikologi yang paling ampuh untuk menyeleksi kelas. Kecemburuan sosial pasti tercipta.

Masalah berikutnya adalah masalah sanitasi kota. Sanitasi kota ini yang serius! Mengutip pendapat Hannigan, dalam pe-‘renovasi’-an kota menjadi kota fantasi, sanitasi atau pembersihan kota dari wajah-wajah buruk dan miris seperti kemiskinan dan kriminalitas, cepat atau lambat, bertahap atau satu kali operasi,adalah hal yang pasti dilakukan. Menghubungkannya dengan penjelasan Bella Dicks dalam Culture on Display, sanitasi tersebut memang harus dilakukan untuk menjadikan suatu tempat vistable atau berpotensi dikunjungi dan legible atau memuat kesatuan cerita. Dengan peletakan theme park di bilangan Gatot Subroto Bandungn yang kondisinya berbeda seratus delapan puluh derajat dari bilangan Gatot Subroto Jakarta, ditandai dengan padatnya perkampungan, sempit dan rusaknya jalan raya, kisruhnya pasar pagi, dan ramainya lalu lintas, theme park tersebut tidak hanya kurang visitable tetapi juga kuranglegible. Kesemrawutan lingkungan bukan penciri dari kemodernan, bahkan keposmodernan yang dipancarkan oleh theme park. Ketimpangan dalam penceritaan identitas bangunan dan kota merupakan hal yang kurang menyeduksi keinginan khlayak untuk datang. Sebisa mungkin keadaan seperti itu akan dikoreksi. Koreksi dalam citra positif adalah pengaturan lingkungan sekitar, namun koreksi dalam citra negatif pun bisa terjadi dalam bentuk penyelimutan, pemindahan, bahkan penghilangan wajah miris kota. Singkatnya, penggusuran ke daerah yang lebih pinggir. Kemiskinan yang sebelumnya melengkapi wajah kota tersebut tidak akan pernah teratasi. Janji pembangunan dan pelibatan tenaga kerja lokal sama nihilnya seperti janji transfer teknologi antara Freeport dengan warga asli Papua. Pelibatan warga lokal jika memang terjadi pun pasti haya pelibatan di bidang minor sperti buruh atau di bidang eksternalitas seperti berdirinya warung-warung nasi murah bagi para pekerja. Ah, bahkan dampak eksternalitas itu pun nantinya akan dibersihkan juga.



Bandung : Dari Paris van Java hingga Singapura made in Indonesia

Bandung saat ini bagi saya bukan Paris van Java. Pertama karena saya belum ke Paris jadi saya nggak bisa membandingkan Paris dengan Bandung. Kedua karena Bandung saat ini memiliki beberapa hal yang dimiliki Singapura. Pusat perbelanjaan? Yes! Singapura punya hampir 150 mal dengan ribuan gerai di dalamnya, sedangkan Bandung punya puluhanfactory outlet sebagai pusat perbelanjaan. Branding mereka pun sama. Singapura dan Bandung sama-sama terkenal sebagai Surga Belanja, bukan? Tapi itu sudah last year. Yang paling baru saat ini adalah kepemilikan Bandung atas miniatur Pulau Sentosa Singapura sejak berdirinya BSM, Trans Studio, dan hotel bertingkat 11. Bandung Supermal adalah jelmaan Mal Resorts World meskipun BSM tidak sebesar, semegah, sebermerk, dan sebertema Resorts World yang penuh barang bermerk global dan simulasi berteknologi tinggi. Trans Studio apalagi kalau bukan jelmaan Universal Studio hanya tinggal diberi monumen logo? Trans Studio memang theme park bermerk lokal yang bisa menjadi sumber daya saing kita di hadapan Disneyland, Universal Studio, dan Sony Land, tapi Trans Studio tetaplah theme park simulakra dari tiga theme park skala dunia tersebut. Mencontek? Tidak original? Tidak otentik? Saya setuju dengan frase tidak original dan tidak otentik,tetapi kalau mencontek, agaknya bukan kata itu yang tepat. Ia adalah simulakra, rujukan dari hal yang tidak nyata. Hanya saja, ia kuadrat dari Disneyland, Universal Studio, dan Sony Land. Bingung? Maksud saya, Disneyland, Universal Studio, Sony Land meski meletakkan standar pertama bagi pembangunan dan penampilan theme park, mereka menbangun wahana-wahana di sana atas dasar penerjemahan mimpi dan fantasi. Nah, fantasi dan mimpi itu sebenranya hal yang tidak ada, kan? Hebatnya mereka bisa merealisasikan mimpi-mimpi dan fantasi-fantasi menjadi hal yang tampak mata. Nah, hal ini kemudian dirujuk oleh Trans Studio. Ibaratnya, Trans Studio adalah SM*SH yang mengadopsiboyband Korea. Boyband Korea itulah Disneyland, Universal Studio, dan Sony Land. Trans Studio tidak mencontek, tetapi mengadopsi.

Pertanyaannya, mengapa Trans Studio harus mengadopsi? Mengapa Bandung mau menerima Trans Studio yang jelas-jelas adalah pengadopsian yang tidak original dan tidak otentik?

Teman saya dalam salah satu twit-nya mengeluhkan kenyataan pengadopsian ini. Menurutnya, Bandung memiliki keunikan yang bisa dijual di pasar global dan menjadi branding Bandung. Bandung tidak perlu menjadi kota yang modern seperti kota-kota global lain karena modernisasibukanlah terminologi dan proses yang bisa diterapkan bagi setiap orang dan setiap keadaan.

Pertanyaan kawan saya itu juga yang menjadi pertanyaan saya dalam skripsi saya mengenai Singapura yang mengadopsi bangunan-bangunan modern sebagai daya tariknya dan menenggelamkan identitasnya sejak tahun 1965 hingga tahun 1997 sebagai New Asia. Dalam dunia Bisnis, alasan tersebut dikenal sebagai teori akreditasi, dalam Studi Budaya teori khususnya belum saya temukan namun Bella Dicks danHannigan menyebutnya secara tidak langsung sebagai penjelasan, dan dalam terminologi soft power Joseph S. Nye logika tersebut disebut sebagai universalitas. Benang merah di antara ketiga keterangan tersebut adalah agar suatu tempat dikenal, disukai, dan diterima oleh khalayak luas, maka tempat tersebut harus menampilkan hal-hal universal yang terlebih dahulu sudah dikenal, disukai, dan diterima khalayak lain. Keunikan seperti yang diusung teman saya sebenarnya bisa menjadi sumber kemenarikan suatu tempat yang membedakannya dengan tempat lain sehingga menjadi daya jual, namun resiko yang dibawa oleh keunikan ini lebih besar daripada resiko dari keserupaan. Keunikan bila tidak tertata oleh tangan yang tepat di waktu yang tepat akan mematikan daya jual tempat tersebut. Selain itu, menyimulasikan hal yang telah diterima sebagai keberhasilan di suatu tempat oleh tempat lain merupakan suatu pertunjukkan kesuksesan. Tempat tersebut akan memperoleh pengakuan hebat sehebat tempat yang menginspirasinya.

Dua hal itu yang saya rasa menjadi penyebab diterimanya Trans Studio oleh pemerintah kota Bandung. Pertama, tidak bisa disangkal, Trans Studio adalah proyek mercusuar yang menguntungkan label Bandung sebagai kota rekreasi. Kepemilikan swasta pun tidak menjadi masalah, malahan dianggap sebagai bentuk kerja sama kesalingpengertianan antara pemerintah dengan swasta mengenai pembangunan kota. Kedua, Trans Studio adalah sumber brandingBandung ke khalayak yang lebih luas yang tentu saja akan menguntungkan bidang ekonomi dan turisme. Pembukaan Trans Studio yang disiarkan secara nasional dan hingga ke Malaysia merupakan langkah pemasaran kota Bandung dengan cara yang tidak biasa. Khalayak akan tertarik datang ke Bandung tidak hanya untuk menikmati Trans Studio tetapi juga Bandung secara keseluruhan. Ketiga, keberadaan Trans Studio akan membuka kesempatan bagi Bandung untuk menjadi salah satu kota yang dikenal secara global. Kemiripannya dengan Singapura merupakan sisi yang dieksplorasi Bandung dan bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan Bandung akan menjadi satelit Singapura. Bandung pun akan menjadi kota yang unik hasil gabungan budaya suburb bertema simulasi downtown.



Dua Mata Pisau

Dari dua sisi yang saya kemukakan mengenai pembangunan Bandung melalui adanya Trans Studio, posisi yang saya ambil adalah optimis bersyarat. Secara teoritis, Trans Studio memang bisa menjadi sumber berkah bagi Bandung dan masa depannya. Saya tidak menentang adanya Trans Studio selain pengeluhan besar-besaran mengenai kemacetan yang pasti akan timbul di sekitar Gatot Subroto. Permasalahan yang muncul datang dari ranah praktek. Pertanyaan saya, apakah keberadaan Trans Studio bisa semanis teori yang saya baca sementara pekerjaan rumah swasta dan pemerintah tidak dikerjakan? Permasalahan infrastruktur dan sosial bukan permasalahan yang gampang melainkan permasalahan serius, menantang,kompleks, dan mahal.Hal yang paling mengerikan tentu saja apabila Trans Studio tetap berdiri sementara pemerintah dan swasta tidak bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah demi keseimbangan standardisasi turisme dengan keberadaan warga lokal dan lingkungan asli. Jika pekerjaan rumah tersebut terus-terusan menajadi wacana saja, tidak mustahil Trans Studio hanya akan menjadi monumen kapitalisme dan modernisasi yang sempat bangkit dan tidak ramah pada warga asli serta gagal menjaring turis. Semoga saja proyek mercusuar ini bisa menerangi seluruh Bandung, tidak hanya sekedar berdiri angkuh di tengah keterasingan.

Ark. Jun’11.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline