Lihat ke Halaman Asli

Bahasa sebagai Identitas Budaya, Mungkinkah?

Diperbarui: 14 Agustus 2015   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bicara soal budaya, satu dari banyak hal yang tak terbatas, demikian luas. Begitu banyak teoris, pemikir dan peneliti yang berpendapat mengenai budaya adalah A, B, C dan seterusnya berdasar pengalaman masing-masing. Sedang, kata guru Antropologi saya dahulu, budaya adalah hasil dari segala sesuatu yang dibuat oleh manusia, entah itu meja, kursi, pemikiran, teknologi, sistem pendidikan, dan berbagai hal yang masuk dalam 7 unsur budaya.

Berdasar buku yang saya baca, budaya bukanlah sesuatu yang ada di luar sana dan menunggu untuk didefinisikan dan dimengerti oleh siapapun, tapi suatu konsep yang bisa kita pakai sebagai  suatu bentuk atau refleksi kehidupan. Tapi sebagaimana kehidupan yang selalu bergerak dinamis dan mengalami perubahan, kita tak bisa mengharapkan segalanya berjalan sama. Demikianlah dengan budaya, maknanya senantiasa berubah sebagaimana manusia, the thinker, yang selalu berharap untuk melakukan hal berbeda.

Menurut William, kata culture dimulai dari kata benda sebagai suatu proses pertumbuhan dalam agriculture. Namun, sekarang ide dari agrikultur diteliti untuk menjelaskan lebih jauh tentang pemikiran-pemikiran atau human spirit dan budaya kemanusiaan di Indonesia yang terpelihara dan berbudaya.

Tapi, di abad ke-19 ini, makna dari budaya lebih ke sesuatu yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang menyeluruh dan tipikal. Di abad ke-19, Matt Arn berpendapat bahwa budaya adalah hal terbaik yang telah dipikirkan di dunia dengan membaca, meneliti dan berpikir. Dari ide dan pemikiran-pemikiran baru itulah terbentuk cultural studies dan Ilmu Humaniora. Cultural studies masyarakat Indonesia dipelajari melalui budaya. Lingkungan, media informasi dan hal yang ada di sekitarnya bisa jadi mengikuti budaya yang sedang ada dalam masyarakatnya. Itulah mengapa advertisement juga menggunakan gaya bahasa sesuai dengan budaya yang terbentuk, misal dalam contoh tipikal sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang suka mengobrol dan membahas berbagai hal hingga ngalor-ngidul, dan mereka pun menggunakan diksi dalam konten iklan dengan “Bicara 24 jam sampe elek hanya Rp 1.000,-!”

Contoh diatas adalah salah saty implikasi dalam mempelajari bahasa dan budaya, sedangkan apabila diri membudayakan membaca dan menulis, kita akan mengerti bahwa ada dampak buruk dari handphone yang didekatkan berlama-lama, yaitu mengandung sinyal elektromagnetik yang mampu menimbulkan berbagai macam penyakit. Kalau dipikir-pikir juga, segala apapun yang berlebihan memang tidak baik, maka pertimbangkan segala sesuatu ya, sob.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline