Lihat ke Halaman Asli

Rivira Yuana

Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN). Inovator dan Pengembang TIK

Urgensi Program Fisika Kebencanaan di Perguruan Tinggi untuk Mitigasi dan Peta Bencana

Diperbarui: 25 Desember 2024   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bencana hidrometeorologi (sumber KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Berbagai bencana alam terjadi silih berganti di negeri ini. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)sepanjang tahun 2024 ini lebih dari 5,6 juta rakyat Indonesia menderita karena bencana banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, kebakaran lahan, dan gunung meletus hingga pergerakan tanah.

Pentingnya langkah strategis untuk mewujudkan Program Fisika Kebencanaan di Indonesia yang tidak hanya akan memperkuat posisi perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan unggulan, namun juga bisa menjadi solusi untuk mitigasi dan tahap rehabilitasi saat terjadi bencana alam.

BNPB melaporkan setidaknya selama periode 1 Januari -- 15 Desember 2024 ada sebanyak 1.942 kali peristiwa bencana alam yang melanda hampir ke seluruh penjuru negeri. Dengan kondisi inilah pentingnya peran fisika kebencanaan yang mengaplikasikan ilmu fisika untuk mitigasi dan peta bencana

Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, longsor, dan erupsi gunung berapi telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Di tengah tantangan ini, ilmu fisika memiliki peran krusial dalam memahami fenomena alam, memprediksi bencana, dan membantu mitigasi risiko. Program studi fisika kebencanaan hadir untuk menjembatani sains dan praktik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip fisika dalam penanganan bencana.

Indonesia berada dalam kawasan Cincin Api Pasifik, menjadikannya salah satu wilayah paling rawan bencana alam di dunia, termasuk gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan banjir.

Dampak perubahan iklim global semakin memperburuk frekuensi dan intensitas bencana ini, yang mengancam kehidupan masyarakat, infrastruktur, dan stabilitas ekonomi. Dalam konteks ini, kebutuhan akan pendekatan ilmiah berbasis fisika untuk memahami dan memitigasi dampak bencana menjadi semakin mendesak.

Inspirasi untuk menjawab tantangan ini dapat ditemukan dalam Earth Systems Program di Stanford Doerr School of Sustainability. Program ini mengintegrasikan ilmu dasar seperti fisika, geologi, dan hidrologi dengan teknologi mutakhir seperti Geographic Information Systems (GIS) dan penginderaan jauh. Stanford membangun pendekatan ini berdasarkan tujuh pilar utama: sistem darat, atmosfer, kelautan, biosfer, teknologi energi, keberlanjutan pangan, dimensi sosial, dan kebijakan lingkungan.

Dengan struktur ini, Stanford telah menghasilkan penelitian penting tentang mitigasi risiko bencana seperti gempa susulan, bahaya vulkanik, dan badai tropis, yang dapat diakses di Hazards Research.

Fisika kebencanaan berakar pada teori pergeseran lempeng tektonik dan dinamika bumi. Konsep ini menjelaskan bagaimana interaksi antar lempeng bumi menciptakan gempa bumi, tsunami, dan aktivitas vulkanik. Fisika juga digunakan untuk memodelkan pergerakan gelombang seismik, aliran lava, atau bahkan simulasi longsoran.

Teori Tektonik Lempeng membantu memahami zona subduksi seperti Cincin Api Pasifik, di mana gempa besar dan tsunami sering terjadi. Fisika Fluida diterapkan untuk memodelkan aliran air dalam tsunami dan banjir, membantu memprediksi area terdampak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline