Menyelamatkan PTS dengan Adopsi Inovasi Negara Maju
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah menutup sejumlah kampus perguruan tinggi swasta (PTS) di beberapa kota. Penutupan dilakukan dengan mencabut izin operasional kampus-kampus tersebut. Banyaknya kampus yang ditutup karena adanya pelanggaran berat seperti jual-beli ijazah tanpa proses belajar mengajar, manipulasi data mahasiswa, pembelajaran fiktif, penyalahgunaan KIP Kuliah, dan lainnya.
Dalam proses penutupan tersebut pihak Kemendikbud tidak mengekspos data rinci dari PTS yang ditutup guna melindungi nama alumni dan mahasiswa dari kampus tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari olok-olokan terhadap mereka, termasuk mereka yang telah sukses dan bahkan menjadi pejabat.
Kemendikbud Ristek berkewajiban membantu memindahkan mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik yang terdampak penutupan ke perguruan tinggi lain. Pemindahan tersebut dibantu oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah (LLDikti) yang bertugas dalam pembinaan, monitoring, dan evaluasi perguruan tinggi. Namun, pemindahan hanya akan berlaku bagi perguruan tinggi yang pembelajarannya dapat terbukti ada.
Menurut asosiasi badan penyelenggara PTS, akses kuliah anak muda Indonesia terbatas. Saat ini, angka partisipasi kasar (APK) PT berkisar 34,58 persen. Artinya, akses berkuliah dibutuhkan, termasuk di PTS. Terdata sebanyak 3.032 PTS, tetapi 50-60 persennya kurang sehat dan harus segera disehatkan.
Publik sebenarnya tidak menghendaki pencabutan izin PTS, ada solusi untuk menyehatkan PTS, dengan merger, akuisisi, dan cara lain. Agenda besar bangsa Indonesia menginjak usia kemerdekaan yang ke-79 adalah memecahkan masalah di PTS karena pendidikan menjadi roh proklamasi kemerdekaan.
Pimpinan dan badan penyelenggara perguruan tinggi swasta (PTS) beberapa kali bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkapkan banyak PTS kesulitan bertahan. Apalagi terjadi persaingan ketat memperebutkan mahasiswa baru seiring adanya berbagai masuk jalur perguruan tinggi negeri (PTN), khususnya jalur mandiri.
Sejumlah PTS setiap tahun ada yang dinonaktifkan oleh Kemenristek Dikti dan tidak boleh lagi menerima mahasiswa baru. Penurunan jumlah mahasiswa baru juga banyak dihadapi juga oleh PTS lama yang bahkan sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu.
Kebijakan PTN yang dapat menerima mahasiswa dari jalur mandiri dan beberapa tahap termasuk faktor utama yang mendorong PTS kekurangan mahasiswa selain kegagalan pemerintah membuat regulasi dalam menetapkan rasio jumlah lembaga pendidikan tinggi terhadap kebutuhan yang saat ini dinilai over supply.
PTS yang sudah lama berdiri mengalami inefisiensi di mana semua biaya operasional termasuk gaji, perawatan fasilitas dan investasi teknologi mayoritas dibebankan pada iuran mahasiswa sehingga kegagalan memperoleh mahasiswa menimbulkan defisit keuangan secara langsung.